Assalaamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang saya hormati, langsung saja:
1. Baru-baru ini saya dengar kabar di Pakistan terjadi banyak pemerkosaan yang tidak bisa diproses dengan hukum karena sulitnya menghadirkan 4 saksi. Hal ini mengakibatkan parlemen Pakistan mengamandemen undang-undang yang mengatur hal tersebut. Menurut Islam syarat apakah yang harus dipenuhi supaya pemerkosa dapat dikenakan hukuman? Apakah seperti pada pelaku zina yang mensyaratkan harus ada pengakuan pelaku dan 4 orang saksi? Padahal dalam kasus pemerkosaan kan jarang ada pelaku yang mau mengaku dan tidak ada pemerkosaan yang ditonton 4 orang. Tidak bisakah pada saat ini syarat tersebut diganti dengan pengakuan korban dan bukti sperma pelaku yang masih tertinggal di tubuh korban yang dengan teknologi sekarang bisa diketahui milik siapa?
2. Ustadz pernah menerangkan banyak ulama yang melarang penggunaan alat kontrasepsi yang mekanisme kerjanya membunuh sperma. Apakah alat seperti itu atau sejenisnya boleh digunakan pada korban perkosaan supaya yang bersangkutan tidak hamil setelah diperkosa? Kalau boleh, sampai kapan hal itu dibolehkan sejak peristiwa perkosaan?
Demikian pertanyaan saya, atas jawabanya saya sampaikan terimakasih, jazakumullah.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Banyak orang salah mengira bahwa hukum Islam punya banyak kelemahan, seperti pada kasus yang anda ceritakan. Dalam kasus zina, memang diharuskan ada pengakuan dari pelaku langsung atau kesaksian 4 orang. Kalau pelakunya tidak mengaku dan juga kesaksian pihak lain tidak tercukupi syaratnya, orang mengira hukum zina menjadi batal dengan sendirinya.
Padahal tidak demikian sebenarnya. Bahkan pelaku zina atau pemerkosa tetap bisa dihukum dengan hukuman yang setimpal, meski bukan dengan hukum hudud. Tetapi dengan menggunakan hukum ta’zir.
Ketahuilah bahwa hukum itu ada dua macam, hudud dan ta’zir. Kalau lewat hukum hudud tidak bisa dipecahkan karena kurang syarat dan bukti, maka lewat hukum ta’zir masih bisa diselesaikan.
Kedua jenis hukum ini bisa dibedakan, terutama dari beberapa segi:
Hukum hudud
- Ketetapan dan pembuktiannya sudah ditetapkan dari Allah SWT secara baku
- Bentuk dan jenis hukumannya sudah ditetapkan dari Allah SWT juga
Hukum Ta’zir
- Ketetapan dan pembuktiannya secara umum dari Allah SWT juga, namun detailnya diserahkan kepada hakim
- Bentuk dan jenis hukumannya pun diserahkan kepada hakim
Bila secara hukum hudud zina pelaku pemerkosaan tidak bisa dihukum, maka bisa diproses lewat hukum hudud, di mana hakim punya hak untuk menuntut pelakunya dengan kesalahan pelecehan seksual atau pemerkosaan. Semua bentuk-bentuk pembuktian pemerkosaan bisa digunakan sebagai dasar tuntutan, bila menggunakan sistem ta’zir. Bahkan sampai hukuman mati pun bisa. Semua kembali kepada hakimnya.
Dalam hal ini hakim menghukum mati pemerkosa bukan lewat dalil hukum rajam pezina, tetapi lewat kewenangannya sebagai hakim untuk menghukum atas dosa pemerkosaan dan melecehan kehormatan wanita.
Perang Amoria
Jangankan sekedar menghukum mati pelaku pemerkosaan, bahkan sampai kepada perang terbuka pun bisa saja dijalankan.
Salah satu contohnya adalah perang Amoria yang sangat dahsyat, di mana umat Islam berhasil memukul habis orang kafir satu kota.
Pemicunya sederahana saja, yaitu karena ada seorang wanita muslimah diganggu dan dilecehkan oleh orang kafir. Kainnya dikaitkan ke paku sehingga ketika berdiri, terlihatlah sebagian auratnya. Wanita itu lalu berteriak memanggil nama Khalifah Al-Mu’tshim billah dengan lafadz yang legendaris: waa mu’tashimaah!.
Maka Khalifah Al-Mu’tshim pun menurunkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Amoria dan melibas semua orang kafir yang ada di sana. Seseorang meriwayatkan bahwa panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari istana khalifah hingga kota Amoria, karena besarnya pasukan.
Dengan realitas sejarah seperti ini, bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa hukum Islam tidak bisa menghukum pemerkosa? Padahal apa yang dilakukannya jauh lebih keji dari zina itu sendiri. Kalau pun hukum hudud tidak memenuhi syarat untuk menghukum pemerkosa seberat-beratnya, maka hakim atau pemerintah punya hak sepenuhnya untuk menghukum mati pemerkosa, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Al-Mu’tashim billah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.