“Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain. Jangan pula seorang wanita melihat aurat wanita lainnya. Janganlah seorang laki-laki berada dalam satu selimut dengan laki-laki lain dan jangan pula seorang wanita berada dalam satu selimut dengan wanita lain.”
“Saya yakin tidak boleh berhubungan intim bersama, karena berarti isteri pertama dan isteri kedua bisa saling melihat auratnya masing-masing,” terang Ustadz Mahfud Said kepada Okezone, Jumat (12/7/2019).
Dalam konsep Al-qismu juga diterangkan, haram hukumnya bagi seorang suami tinggal di rumah seorang istrinya. Lalu mengajak istri yang lain untuk tinggal di rumah tersebut karena keberatan hati mereka untuk mendatanginya dan melebihkan seorang atau dua orang istrinya dibandingkan yang lain.
Begitu pula haram hukumnya seorang suami menempatkan dua istrinya dalam satu rumah. Ini dirasa dapat memicu pertengkaran keduanya yang selanjutnya dapat merusak hubungan rumah tangga. Kecuali keduanya rela dan ikhlas.
“Adalah makruh hukumnya berhubungan intim dengan sepengetahuan isteri yang lain karena jauh dari sifat muru‘ah. Hubungan intim seorang suami pada seorang madunya dengan sepengetahuan isterinya yang lain di satu atap dihukumkan makruh, sepanjang hatinya tidak terluka dan tidak terlihat aurat suami dan madunya. Kalau keduanya terjadi (melukai hati dan terlihat auratnya), maka haramlah hubungan intim yang dilakukan suami dengan salah seorang isterinya,” [Syekh Qaliyubi dan Syekh Umairah, Hasyiyah ala Syarh al-Mahalli ala Minhajit Thalibin lil Imamin Nawawi fi Fiqhi mazhabil Imamis Syafi‘i, (Kairo: Maktabah wa Mathba‘ah al-Masyhad al-Husaini, tanpa tahun) Juz 3, hal. 300-301].
Di sisi lain, Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata, “Janganlah dia berjima’ sementara ada seseorang yang melihat keduanya atau mendengar desahan keduanya. Dan janganlah dia mencumbu dan menggaulinya di depan orang.”
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak ada yang membuatku kagum kecuali dia menutup semua ini.” Beliau berkata kepada orang yang menyetubuhi istrinya sedangkan yang lain mendengar desahannya, “mereka (para salaf) membenci wajsa, yaitu suara lirih (desahan ketika jima’) dan janganlah dia menceritakan peristiwa jima’ antara dia dengan istrinya.”
Beliau berkata lagi, “Jika salah seorang istrinya ridla (rela) kalau dia menggauli istrinya yang satu di depannya dengan dia melihatnya, tetap tidak boleh. Karena hal itu termasuk menghinakan, tidak masuk akal, dan menjatuhkan kehormatan, karenanya tidak boleh dilakukan walau dengan keridhaan keduanya.” (Okz)