Jika melihat tujuan aslinya, yakni pengobatan, tentu saja hal ini diperbolehkan syariat. Bahkan, orang yang mau berobat dari sakitnya mendapatkan ganjaran pahala karena memenuhi anjuran Nabi SAW. Berdalil dari hadis Nabi SAW, “Berobatlah wahai hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit, melainkan Ia telah menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu tua.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Demikian juga profesi sebagai dokter gigi disebut pula sebagai profesi yang mulia. Hal demikian karena perannya yang menyembuhkan orang sakit serta mengembalikan kepercayaan diri si pasien. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku tidak tahu suatu ilmu setelah masalah halal dan haram (ilmu fikih) yang lebih mulia dari ilmu kedokteran.” Demikian disebutkan dalam Atthib Minal Kitab was Sunnah karya Al-Baghdadi (187).
Adapun bab taghyir li khalqillah (mengubah ciptaan Allah SWT) tidaklah termasuk dalam kategori ini. Orang yang punya gigi tonggos kemudian berobat sehingga giginya normal adalah upaya pengobatan. Hal ini boleh dan dinilai berpahala. Berbeda dengan orang yang punya gigi normal kemudian mengikir, memiringkan, menambah ukuran gigi, dan seterusnya. Inilah yang termasuk dalam bab taghyir li khalqillah karena tak ada upaya pengobatan di sana.
Lantas bagaimana hukumnya jika memakai behel untuk ikut-ikutan tren? Banyak didapati remaja putri hingga kalangan ibu-ibu yang memakai behel sebagai aksesori gaya hidup. Bahkan, ada pula yang menambahkan hiasan mata cincin dan permata bewarna-warni hingga berlian. Jelas sekali, tujuan utamanya bukan untuk pengobatan.
Dalam koridor syariat, tren sedemikian bisa jatuh pada hal-hal negatif yang berujung pada keharaman. Misalkan, behel yang digunakan justru merusak rongga mulut. Gigi yang semula normal bisa rusak dan goyah. Dampak lain seperti rumitnya menjaga kebersihan mulut karena terhalang behel.