Gus Baha melanjutkan pasangan yang berzina dan terlanjur hamil di luar nikah itu harus dinikahkan. Di dalam persoalan ini pria yang menghamilinya pun bertanggung jawab, maka dari itu status perzinahan mereka selesai.
“Ini penting, saya utarakan karena kalau tidak dinikahkan nanti malah repot. Misalnya ada orang kecelakaan hamil di luar nikah, cowoknya tanggung jawab. Lalu dia ingin menikahi, harus kita nikahkan karena dengan demikian zinanya berakhir,” terangnya.
Kemudian ketika anak itu lahir dan kebetulan berjenis kelamin perempuan, maka ia akan dinikahkan oleh wali hakim, bukan ayah yang telah membuahi ibunya. Namun jika perempuan tadi memiliki anak kedua dan jenis kelaminnya sama, maka walinya adalah ayahnya karena ia dibentuk ketika orangtuanya sudah sah menikah.
“Cuma nanti, kalau anaknya putri, tetap tidak bisa dinikahkan oleh bapaknya, karena ini bapak selingkuhan, bukan bapak yang dapat SK syariat. Jadi nanti putri baligh (red. putri hasil dari ibu hamil di luar nikah), nanti nikah yang menikahkan hakim, bukan bapak yang menyelingkuhi, karena ini bapak ilegal. Tapi kalau anak kedua perempuan, itu sudah boleh dinikahkan ayahnya karena anak sah,” tegasnya lagi.
Senada dengan Gus Baha, Ketua Ikatan Sarjana Quran Hadist Indonesia Ustadz Fauzan Amin mengatakan menikahi perempuan yang sedang hamil hasil hubungan di luar pernikahan itu hukumnya mubah atau diperbolehkan.
“Ulama Syafiiyah memperbolehkan dengan catatan tetap mengikuti rukun dan syarat akad nikah, karena hamil di luar nikah tidak perlu ada iddah, seperti hamil hasil dengan suami sah. Pendapat tersebut hampir sejalan dengan pendapat Ulama Hanafiyah, bahwa pernikahan perempuan saat hamil hukumnya sah apabila ia menikah dengan pria yang menzinainya selama menenuhi syarat dan akad nikah,” katanya saat dihubungi Okezone.
Berbeda dengan Imam Syafei dan Hanafi, menurut Imam Malik dan Imam ibn Hambal atau Imam Hambali, harus menununggu sampai perempuan tersebut melahirkan terlebih dahulu, setelah itu boleh dinikahi.