اَلنِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي، وَتَزَوَّجُوْا، فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اْلأُمَمَ، وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ، وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ.
Artinya: “Menikah adalah sunahku. Barangsiapa yang enggan melaksanakan sunahku, maka ia bukan dari golonganku. Menikahlah kalian! Karena sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat. Barangsiapa memiliki kemampuan (untuk menikah), maka menikahlah. Dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya (dari berbagai syahwat).” (HR. Ibnu Majah).
Ainul mengatakan, “Memang benar bahwa menikah memiliki banyak keutamaan dan pahala yang Allah berikan. Keutamaan itu diberikan kepada orang yang telah sanggup secara lahir batin. Akan tetapi menikah juga harus memperhatikan posisi dan keadan, baik lingkungan, situasi, keamanan, kesiapan, dan kemaslahatan secara umum,” tuturnya.
Selain itu, jika pasangan calon pengantin itu bisa menahan atau menunda pernikahannya untuk sementara waktu karena takut wabah COVID-19, maka kebaikan yang akan diterima mereka sebab banyak menyelamatkan orang lain.
“Tujuan mulianya adalah meminimalisir penularan COVID-19, maka kebaikan yang akan diterimanya,” pungkasnya. (Okz)