Dalam Islam kasus seperti ini termasuk kategori sogok-menyogok (penyuapan) atau risywah yang hukumnya dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw.;
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي [رواه أبو داود و الترميذي وابن ماجة وأحمد].
“Dari Abdullah bin ‘Amru [diriwayatkan] ia berkata, “Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi uang sogokan dan orang yang menerima uang sogokan” [HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad].
Larangan sogok menyogok atau risywah dalam Islam, tentu memiliki tujuan dan hikmah yang sangat penting, karena risywah memiliki dampak negatif dalam kehidupan sosial manusia. Di antara dampak negatif risywah adalah, pertama, dapat merugikan pihak lain yang memiliki kemampuan atau skill dan sifat amanah dalam bekerja karena terhalang oleh pihak lain yang memiliki kemampuan finansial untuk melakukan risywah.
Kedua, dapat menimbulkan budaya kerja dan kompetisi yang tidak sehat (tidak harmonis). Ketiga, dapat merusak sistem perekrutan dalam proses penerimaan pegawai, dan lain sebagainya. Dengan demikian, orang yang melakukan dan menerima risywah termasuk berdosa.
Namun terkait dengan gaji yang diperolehnya, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat gaji yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (risywah) maka hasilnya pun juga tidak halal atau dikategorikan sebagai syubhat.
Sebagian lagi berpendapat risywah merupakan bentuk kesalahan dan dosa, namun gaji yang diperolehnya tetap halal, asalkan jenis pekerjaan yang dijalankan merupakan pekerjaan yang diperbolehkan oleh agama dan bukan pekerjaan yang dilarang seperti bekerja di pabrik minuman keras atau sejenisnya. Namun, gaji tersebut harus dibersihkan dengan membayar zakat dan sedekah, karena salah satu fungsi zakat adalah untuk membersihkan harta.