Sementara Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan penjelasan secara fikih, yakni dalam pengurusan jenazah terkena COVID-19. Di dalam Islam, manusia diposisikan sebagai penerima anugerah karamah insaniyah (martabat kemanusiaan). Allah SWT berfirman,
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِىٓ ءَادَمَ وَحَمَلْنَٰهُمْ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ وَرَزَقْنَٰهُم مِّنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَفَضَّلْنَٰهُمْ عَلَىٰ كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al Isra:70).
“Karamah insaniyah tersebut salah satunya tercermin dalam المیت تجھیز pemulasaraan jenazah: memandikan, mengkafani, menshalatkan dan menguburkan yang menjadi kewajiban fakultatif كفایة فرض yang tertuju kepada umat Islam untukbsetiap mayit Muslim,” kata Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU, KH. M. Nadjib Hassan.
Lebih lanjut, kata dia, pemulasaraan jenazah التجھیز diatur di dalam syariat dengan begitu baik dan sempurna yang benar-benar mencerminkan posisi manusia sebagai makhluk terhormat.
Namun di sisi lain, yakni terkait dengan jenazah yang terkena wabah COVID-19 perlu lebih hati-hati dalam memperlakukannya. Sebab virus tersebut akan dengan cepat menular, ketika seseorang berhadapan langsung dengan pasien atau jenazah yang terjangkit corona.
“Perlakuan terbaik terhadap jenazah kadang tidak dapat diwujudkan karena kendala tertentu, seperti soal memandikan jenazah pasien COVID-19, yang mana kalau dilakukan dengan standar normal diduga kuat dapat menimbulkan bahaya bagi yang hidup terutama bagi yang melaksanakannya, yaitu penularan virus,” terangnya. (Okz)