Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
أَوْصَانِى خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
Artinya: “Kekasihku (yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam) mewasiatkan kepadaku tiga nasihat yang aku tidak meninggalkannya hingga aku mati: (1) Berpuasa tiga hari setiap bulannya, (2) Mengerjakan Sholat Dhuha, (3) Mengerjakan Sholat Witir sebelum tidur.” (HR Bukhari Nomor 1178)
Lalu bagaimana hukumnya menggabung puasa Syawal dengan ayyaumul bidh?
Mengutip dari Muslim.or.id, Sabtu (6/6/2020), hukumnya boleh dan sah, karena puasa ayyamul bidh adalah ibadah yang ghayru maqshudah bidzatiha atau tidak diperintahkan secara langsung.
Ketika seseorang melaksanakan puasa tiga hari dalam satu bulan, kapan pun harinya dan apa pun jenis puasa yang dilakukan (yang disyariatkan) maka sudah mendapatkan keutamaan puasa ayyamul bidh.
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin menyatakan:
إذا صام ست أيام من شوال سقطت عنه البيض ، سواء صامها عند البيض أو قبل أو بعد لأنه يصدق عليه أنه صام ثلاثة أيام من الشهر ، وقالت عائشة رضي الله عنها : ” كان النبي صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر لا يبالي أصامها من أول الشهر أو وسطه أو آخره ” ، و هي من جنس سقوط تحية المسجد بالراتبة فلو دخل المسجد
Artinya: “Jika seseorang berpuasa enam hari di bulan Syawal, gugur darinya tuntutan puasa ayyamul bidh. Baik ia puasa Syawal ketika al-bidh (ketika bulan purnama sempurna), sebelumnya atau setelahnya, karena ia telah berpuasa tiga hari dalam satu bulan. Aisyah Radhiyallahu anha berkata, ‘Nabi Shallallahu alaihi wasallam biasa berpuasa tiga hari setiap bulan, tanpa peduli apakah itu awal bulan atau tengah bulan atau akhirnya.’ Ini sejenis dengan gugurnya tuntutan sholat tahiyatul masjid dengan mengerjakan salat rawatib jika seseorang masuk masjid.” (okz)
Sumber: https://islamqa.info/ar/4015