Eramuslim – Mata uang yang menjadi alat transaksi, nilai tukarnya cenderung akan turun dari tahun ke tahun. Lantas apakah sama nilai tukar tersebut jika terdapat peminjam uang yang baru bisa melunasi utangnya dalam jangka waktu yang panjang?
Dalam buku Utang dan Inflasi dalam Perspektif Fikih Muamalah karya Muhammad Abdul Wahab dijelaskan aturan fikih tidak membolehkan utang dibayar dengan tambahan. Artinya, utang harus dibayarkan dengan nominal yang sama.
Namun demikian di sisi lain, hal itu dianggap tidak adil karena akan merugikan si pemberi pinjaman. Contohnya, jika uang Rp 1 juta dalam 30 tahun lalu dapat dibelikan motor, namun jumlah tersebut saat ini tidak cukup untuk membeli hal yang sama seperti di 30 tahun lalu. Atau bahasa singkatnya, itulah yang dinamakan inflasi.
Permasalahannya, apakah tetap bagi si pembayar utang harus membayarkan utangnya dengan nominal yang sama? Jika memperhitungkan inflasi, maka uang pelunasannya pasti akan lebih besar. Dan inilah yang dinamakan riba, di mana uang pelunasan lebih besar daripada uang yang dipinjam.
Berdasarkan pendapat ulama klasik dari empat madzhab, terdapat dua jenis uang yang digunakan yang dahulu karakteristiknya hampir sama dengan uang kertas. Di antaranya adalah fulus atau uang logam yang biasanya terbuat dari tembaga. Pada awal kemunculannya, fulus digunakan sebagai uang kedua atau pelengkap dari emas dan perak.