Eramuslim – Sering kita jumpai sumbangan yang diberikan pemerintah dan lain sebagainya kepada unit pendidikan, pondok pesantren dan lain sebagainya, terjadi perbedaan antara jumlah sumbangan yang tertulis dengan yang diterima.
Bagaimana hukumnya menulis atau menandatangani penerimaan sumbangan (misal Rp 100 juta), padahal uang yang diterima kurang dari jumlah tersebut?
Mengutip hasil Bahtsul Masail PCNU Jombang ke-I, pada 30 Maret 2003 di Masjid Kauman Utara Jombang, disimpulkan sebagai berikut:
1. Tidak boleh, jika masih mungkin untuk mendapatkan haknya tanpa memanipulasi data nominal yang disumbangkan.
2. Boleh, jika memang memanipulasi data merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh haknya dan bagi yang memberi hukumnya haram.
Pendapat di atas merujuk sejumlah referensi sebagai berikut yaitu:
a). Is’adul Rafiq: II/77
اسعاد الرفيق الجزء الثاني ص 77
وَمِنْهَا اْلكَذِبُ وَهُوَ عِنْدَ اَهْلِ السُّنَّةِ الاِخْبَارُ بِالشَّيْئِ فِي خِلاَفِ اْلوَاقِعِ بِخِلاَفِ مَا هُوَ سَوَاءٌ عَلِمَ ذَلِكَ وَ تَعَمَّدَهُ اَمْ لاَ وَ اَمَّا اْلعِلْمُ وَالتَّعَمَّدُ فَهُوَ شَرْطَانِ مِنَ اْلاِثْمِ.
Artinya: Di antaranya adalah berbohong, menurut Ahlussunnah berbohong adalah mengabarkan sesuatu tidak sesuai dengan kenyataannya. Berbeda dengan mengabarkan sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya ini tidak dinamakan berbohong, baik dia mengertinya dan disengaja maupun tidak.
b). Sulam al-Taufiq: 105
سلم التوفيق 105
وَمِنْهَا كِتَابَةُ مَا يَحْرُمُ عَنِ النُّطْقِ بِهِ قَالَ اْلبِدَايَة لاَنَّ اْلقَلَمَ اَحَدُ اللِّسَانِ اَيْ مُنْغِيْبَة وَغَيْرِهَا فَلاَ يُكْتَبُ بِهِ مَا يَحْرُمُ النُّطْقُ مِنْ جَمِيْعِ مَا مَرَّ
Artinya: Di antara dosa yang lain adalah menulis sesuatu yang haram diucapkan. Pengarang kitab al-Bidayah berkata: karena pena itu salah satu media lisan, jadi sudah dianggap cukup, dan lain sebagainya. Jadi setiap sesuatu yang haram diucapkan haram pula ditulis.