Eramuslim – Cuaca ekstrem terkadang bisa menimbulkan kerugian baik materi ataupun korban jiwa. Tidak hanya musim kemarau yang menyebabkan kekeringan di mana-mana, tetapi juga hujan yang tak jarang menyisakan genangan air atau banjir.
Melalui rekayasa kimia, para ilmuwan mencoba untuk memodifikasi cuaca, entah untuk “mengurangi” atau sebaliknya “mendatangkan” curah hujan. Sekalipun, sejak metode ini diperkenalkan pertama kali pada 1946, tingkat keberhasilannya masih diperdebatkan.
Pada 2003 sebuah studi dari Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional Amerika Serikat (NAS), menyatakan tidak ada bukti hingga saat ini yang menguatkan efektivitas modifikasi cuaca.
Persentase keberhasilannya pun kecil, tak lebih dari 10 persen. Praktik ini pun memunculkan tanda tanya besar di sejumlah negara Timur Tengah dan menyedot perhatian sejumlah lembaga fatwa di kawasan tersebut.
Menurut Lembaga Fatwa (Dar al-Ifta’) Yordania, modifikasi cuaca tersebut tidak dilarang dalam syariat. Ini merupakan bentuk ikhtiar menempuh faktor-faktor penyebab hujan berdasarkan teori ilmiah.
Allah SWT memang penentu utama cuaca, tetapi Dia menciptakan faktor penyebab hujan yang bisa terbaca berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sekalipun, dengan tetap meyakini bahwa pemegang kuasa atas cuaca hanyalah Allah. Ini sesuai dengan firman-Nya surah Lukman ayat 34. “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat dan Dia-lah yang menurunkan hujan.”
Meski demikian, lembaga ini memberikan syarat-syarat diperbolehkannya modifikasi cuaca, yaitu efektivitasnya didukung oleh para ilmuwan dan prosesnya tidak berdampak buruk baik bagi manusia, binatang, atau lingkungan.