Peristiwa tersebut oleh Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan fi Ulu mul Qur’an dijadikan sebagai dasar diperbolehkannya membakar mushaf yang rusak. Ia ber pandangan, bila lembaran-lembaran itu rusak, tidak boleh ha nya diselamatkan dengan meletakkan di tempat tertentu. Hal ini di khawatirkan jatuh dan akan terinjak. Opsi menyobek juga ku rang tepat. Pasalnya, sobekan masih menyisakan beberapa hu ruf atau kalimat. Ini bisa lebih fatal akibatnya. Dibakar? Solusi ini jauh lebih baik, menurutnya. Tindakan sama yang dilakukan oleh Usman.
Komite Fatwa Kerajaan Arab Saudi (Fatawa al-Lajnah ad-Dai mah) dalam kompilasi fatwanya menyebutkan, mushaf yang tak lagi terpakai, kitab, dan kertas-kertas di mana tertulis ayat-ayat Alquran, maka hendaknya dikubur di tempat yang layak, jauh dari lalu lintas manusia atau lokasi yang menjijikkan. Opsi lain yang bisa ditempuh ialah dibakar. Hal ini sebagai bentuk penghormatan dan menghindari perendahan Alquran.
Majelis Tarjih PP Muhammadiyah pun menegaskan, apa yang dibakar dalam konteks ini adalah mushaf atau lembarannya, bukan Alquran. Membakar mus haf Alquran di sini bukan untuk menghinakannya, tapi justru untuk menjaga kemuliaannya. Dasarnya adalah untuk kemaslahatan.
Jadi, selagi membakar itu ada maslahat atau kebaikan bagi Alquran, maka hal itu dibenarkan. Maslahatnya di sini ialah menjaga kemuliaan Alquran agar lembaran mushaf Alquran yang telah rapuh atau rusak tersebut tidak berserakan di sembarang tempat atau digunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya.
Dasar lain yang membenarkan membakar mushaf Alquran adalah sadd adz-dzari’ah, yaitu menutup jalan menuju kepada kerusakan. Artinya, daripada mus haf Alquran terhinakan atau dihinakan karena telah rapuh dimakan usia dan tidak bisa di baca lagi, lebih baik dibakar su paya tidak terbiarkan, terinjak, atau dibuang di tempat sampah. (rol)