Mazhab Hanafi dan Hanbali memopulerkan yang pertama. Mushaf yang rusak dan sudah tak lagi terpakai bisa ditanam dalam tanah. Al-Hashkafi, salah seorang imam bermazhab Hanafi dalam kitab ad-Durr al-Mukhtar menjelaskan, layaknya seorang Muslim, ketika tak lagi bernyawa, maka ia akan dikubur di tanah. Perlakuan yang sama juga berlaku untuk mushaf Alquran. Bila sudah rusak dan sulit terbaca, hendaknya dibenamkan di tanah. Lokasi penguburan mushaf tersebut bukan berada di jalan yang sering dilalui orang.
Imam Ahmad, seperti yang dinukil al-Bahwati dalam kitab Kasyf al-Qanna’, pernah berki sah, ketika itu Abu al-Jauza’ me miliki mushaf yang telah usang dan tak laik. Abu al-Jauza’ akhir nya mengubur mushaf tersebut di salah satu sudut masjid. Pan dang an yang sama diutarakan juga oleh Syekh Ibnu Taimiyyah. Penguburan mushaf rusak adalah bentuk penghormatan. Sebagai mana manusia sewaktu meninggal dimakamkan di lokasi yang aman.
Sedangkan, alternatif cara yang kedua ialah dibakar. Opsi pembakaran mushaf Alquran yang rusak ini banyak diadopsi di kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i. Dasar pendapat mereka merujuk keputusan Khalifah Us man bin Affan yang membakar mus haf. Seperti dinukil dari Bu khari dalam kitab hadis sahihnya, Usman meminta Hafshah menye rahkan mushaf yang ia simpan. Khalifah ketiga itu pun lantas menginstruksikan kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan Abudur rah man bin al- Harits bin Hisyam untuk mengopi mushaf itu.
Setelah proses kodifikasi selesai, Usman memerintahkan mushaf-mushaf yang berada di tangan sejumlah sahabat untuk dibakar. Hal ini ditempuh guna mencari titik mufakat dan penyeragaman mushaf. Mush’ab bin Sa’ad, sebagaimana dinukil dari kitab al- Mashahif, menjelaskan, publik kala itu tidak setuju dengan opsi pembakaran dan mendukung gagasan Usman.