Selanjutnya, dalam as-Syarh al-Kabir Malikiyah dinyatakan, “Ketika benda umumnya keluar dari badan manusia itu keluar dari selain tempatnya, seperti keluar dari mulut atau air kencing keluar dari dubur, atau angin yang keluar qubul, termasuk qubul wanita, atau dari pori-pori, maka ini tidak membatalkan wudhu.” (as-Syarh al-Kabir maa Hasyiyah ad-Dasuqi, 1/118).
Dari penjelasan di atas, kita bisa memahami titik perbedaan antara Syafiiyah dan Hambali, dengan Hanafiyah dan Malikiyah, dan menilai najis yang keluar dari tubuh manusia.
[1] Menurut Syafiiyah dan Hambali, yang menjadi acuan adalah tempat keluarnya (al-Makhraj). Selama benda itu keluar dari lubang kemaluan depan dan belakang, maka membatalkan wudhu. Terlepas dari apapun benda yang keluar. Bahkan termasuk darah, cacing atau kelerang yang keluar dari dubur atau qubul.
[2] Sementara menurut Hanafiyah dan Malikiyah, benda yang keluar dari tempat keluarnya (ma kharaja minal makhraj). Air kencing keluar dari jalan depan, dan fases keluar dari dubur. Namun jika keluarnya dari mulut atau darah keluar dari dubur, maka ini tidak membatalkan wudhu.
Ada satu hadis yang bisa kita jadikan sebagai acuan dalam memilih pendapat yang paling mendekati. Hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada wudhu karena kentut kecuali jika ada suara atau ada angin.” (HR. Ahmad 10093, Turmudzi 74 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Dalam hadis ini, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan keluar angin, tanpa menyebutkan apakah dari jalan kemaluan depan atau belakang. Karena itu, sebagai dalam rangka mengambil sikap lebih hati-hati, kita menilai bahwa pendapat yang lebih mendekati adalah pendapat Syafiiyah dan Hambali. (Inilah)