Eramuslim – Seringkali di masyarakat, kita melihat ada orang yang melaksanakan haji hingga lebih dari sekali. Ada sejumlah alasan yang membuat orang ingin berhaji lagi.
Pertama, karena haji yang pertama dirasa kurang mantap, sehingga ia bermaksud untuk mengulanginya dan menyempurnakannya. Kedua, mengulang haji karena akan menghajikan orang lain (badal haji). Ketiga, berhaji lagi karena menjadi muhrim atau pembimbing jamaah haji. Keempat, karena berhaji lebih dari sekali adalah sunah.
Menurut pakar fikih asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, walaupun hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji yang kedua dan seterusnya adalah sunnah, namun hukum itu bisa berubah manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah usul fikih menyebutkan, hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat.
Rasul SAW pernah menangguhkan hukum rajam atas diri seorang pezina karena sedang hamil. Khalifah Umar bin Khattab RA pun pernah tidak menerapkan hukum potong tangan ketika seseorang yang mencuri karena keluarganya dalam keadaan miskin.
Dengan bersandar pada kaidah usul fikih di atas, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunah bisa menjadi makruh. Alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat, namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara di dalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.
Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus), dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, Al-Muta’addi Afdhalu min al-Qaashir (yang luas itu lebih baik daripada yang ringkas).” Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan, dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.