Sebagaimana gratifikasi dilarang dalam hukum bernegara, demikian juga pandangan hukum Islam dalam bersikap. Rasulullah SAW sangat tegas melarang sahabat-sahabatnya untuk menerima gratifikasi. Riwayat dari Abu Humaid as-Sa’idi mengisahkan, salah seorang dari suku Al-Azdi bernama Ibnu Lutbiah ditugaskan memungut zakat. Setelah ia pulang, ia melaporkan dan menyerahkan zakat hasil pungutannya kepada Baitul Mal.
“Ini pembayaran zakat mereka, lalu yang ini adalah untuk saya karena ini pemberian dari wajib zakat kepada saya pribadi,” ujar Ibnu Lutbiah. Rasulullah SAW pun marah dan memerintahkan Ibnu Lutbiah untuk mengembalikan gratifikasi yang diterimanya. Rasulullah SAW bersabda, “Cobalah dia (Ibnu Lutbiah) duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya. Apakah akan ada yang memberikan (gratifikasi) kepadanya?” (HR Bukhari Muslim).
Rasulullah SAW dalam hadis Beliau menegaskan, menerima gratifikasi sama halnya dengan mengambil ghulul, yakni barang curian dari harta rampasan perang. Ancamannya sangat jelas, siapa yang memakan harta gratifikasi akan datang di Hari Kiamat dalam kondisi kesusahan. Di lehernya akan dipikulkan unta, sapi, dan kambing yang mengembik. (HR Bukhari Muslim).
Tidak bisa dimungkiri, pejabat berwenang yang menerima gratifikasi akan berpengaruh pada putusan dan kinerja apa yang diwewenanginya. Demikian juga pegawai pemerintahan. Ketika ia meminta atau menerima gratifikasi, ia akan cenderung melayani konsumen yang memberi gratifikasi.
Lama kelamaan, ia bahkan tak mau melayani orang yang tak mau memberi gratifikasi. Padahal, semua konsumen mempunyai hak yang sama, yaitu mendapatkan pelayanan dari pegawai tersebut secara adil dan proporsional. Pegawai tersebut sudah digaji oleh negara atau perusahaan tempatnya bekerja untuk melayani konsumen secara umum.
Demikian juga seorang hakim, pasti akan terpengaruh dengan gratifikasi. Ia akan cenderung membenarkan atau membela orang yang memberi gratifikasi kepadanya. Inilah alasannya Imam Al-Baghawi dalam kitab Syarhu as-Sunnah secara keras mengharamkan para pejabat pemerintah dan hakim untuk menerima gratifikasi.
Pakar fikih kontemporer, Dr Ahmad Zain An-Najah, mengatakan, masuk juga dalam kasus gratifikasi, seorang pegawai yang kongkalikong dengan pihak lain. Misalnya, pegawai pemerintahan yang ditugaskan untuk menyediakan alat-alat multimedia di kantornya. Ketika penganggaran, harga alat-alat multimedia ini di-mark-up lebih tinggi. Kemudian, saat pembelian, dia memilih membeli alat-alat tersebut di toko yang mau menawarkan harga lebih murah dari anggaran belanja yang ada. Alasannya, selisih uang pembelanjaan bisa masuk ke kantong pribadinya.