Eramuslim – Dalam hukum bernegara, gratifikasi adalah tindakan melanggar hukum yang bisa dijerat pidana. Penerima gratifikasi bisa dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Banyak kasus korupsi yang menjerat pejabat negara lantaran gratifikasi yang ia terima.
ditentukan. Deskripsi yang lebih spesifik diterangkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12B ayat satu. Dikatakan, “Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”
Pembahasan gratifikasi di tengah-tengah masyarakat pun beragam. Ada yang menyebutnya hadiah, ucapan terima kasih, tips, dan lainnya. Menurut pakar ekonomi Islam, Syafii Antonio, pemberian hadiah dinilai haram jika kondisi pemberi dan penerima pada posisi dari “bawah” ke “atas”. Misalnya, dari bawahan ke atasan, dari wajib pajak ke petugas pajak, dari rakyat ke pejabat, dan seterusnya.
Pemberian dari bawah ke atas ini dimaksudkan untuk mengharapkan suatu imbalan, baik secara materi atau non-materi. Misalnya, memperlancar kepentingan bisnis, naik jabatan, pemberian wewenang atau keputusan dari atasan, dan semua hal yang berkaitan dalam ruang lingkup bawahan ke atasan tersebut. Ia mengharapkan ada timbal balik dari atas ke bawah.
Tetapi, jika pemberian hadiah dari atas ke bawah atau kepada sesama, hal ini diperbolehkan. Misalnya, dari orang kaya ke orang miskin, dari bos kepada karyawan, atau sesama teman. Alasannya, tidak ada “udang di balik batu” dari pemberian tersebut. Pemberian hadiah didasarkan untuk memupuk persaudaraan, persahabatan, dan kasih sayang semata.