Assalamu ‘alaikumWr. Wb.
Ustadz yang dirahmati Allah. Bagaimana hukumnya mengikuti suatu ijtihad yang sudah tahu kesalahannya secara ilmu pengetahuan. Sebagaimana penentuan hari raya Idul Adha kemarin. Menurut pakar Astronomi (hampir semua sepakat) penentuan Idul Adha di Arab Saudi salah, namun oleh dewan syariah tetap ditentukan hari Sabtu. Bagaimana hukumnya kita mengikuti sesuatu yang salah?
Terus berkenaan dengan penentuan Idul Adha yang mengacu pada wukuf di Arafah. Di satu sisi ada kesalahan penentuan, tapi disisi lain kita harus mengikuti waktu berdasarkan penentuan oleh pemerintah Arab Saudi "yang kurang tepat" menurut orang-orang Astronomi.
Ini adalah hanya salah satu contoh, mungkin banyak juga pertentangan semacam itu.
Wassalam,
Masruri
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebelum menjawab apa yang anda tanyakan, sebenarnya masih ada yang perlu sedikit dikoreksi dari pertanyaan anda. Antara lain adalah persepsi bahwa pendapat para ilmuwan dengan dunia ipteknya dianggap selalu benar.
Anggapan ini untuk beberapa hal mungkin benar, namun tidak selalu apa yang dikatakan oleh parailmuwan itu selalu benar. Begitu banyak ilmu pengetahuan yang pada akhirnya malah terkoreksi. Dan dunia ilmu pengetahuan pada hakikatnya saling melengkapi.
Sebut saja contoh sederhananya seperti teori evolusi yang kini sudah tumbang. Atau teori relatifitas yang sampai hari ini belum pernah terbukti. Awalnya, dianggap sebagai sebuah kebenaran, namun ilmuwan pada generasi berikutnya berhasil mengoreksi, bahkan sampai pada tingkat koreksi total.
Maka tidak ada kebenaran yang pasti di dunia ilmu pengetahuan, kecuali hitungan matematika paling dasar yang bersifat eksak. Misalnya, 1 + 1 = 2. Tapi kalau sudah sampai menghitung luas lingkaran, sudah ada beberapa versi rumus yang berbeda. Sebagian menggunakan phi yang dibulatkan menjadi 3, 14 sedangkan sebagian lainnya menggunakan 22/7. Hasilnya tidak beda kalau buat menghitung luas tutup panci. Tetapi hasilnya sudah pasti beda kalau digunakan untuk mengukur luas galaksi.
Maka untuk menghitung peredaran bulan terhadap bumi, terlalu banyak versi di kalangan para ilmuwan. Buktinya, sistem perhitungan hisab itu selama ini juga saling berbeda satu sama lain. Yang salah bukan matematikanya, melainkan prinsip dasar dan filosofinya.
Misalnya, ada mazhab dalam ilmu hisab yang menetapkan bahwa bila bulan berada di bawah 2 derajat, ditetapkan tidak akan terlihat. Nanti ada mazhab lainnya yang mengatakan cukup 1 derajat. Lalu mazhab lainnya dengan ketentuan lain yang berbeda.
Maka sejak dari awal sudah pasti hasilnya beda. Bukan pada angkanya, tetapi pada cara menilainya.
Ketetapan Pemerintah dan Dewan Syariah
Dalam dunia ijtihad yang selalu dipenuhi dengan perbedaan pendapat, secara umum pemerintah memang tidak bisa memaksakan pendapat tertentu kepada rakyatnya.
Namun ada kasus tertentu yang perlu diambil kesepakatan, meski masih ada perbedaan pendapat. Tentunya karena ada pertimbangan tertentu yang lebih maslahat.
Misalnya, hak pemerintah untuk menetapkan satu pendapat dalam menjatuhkan hari raya. Dalam pandangan kami, di tengah hiruk pikuk perbedaan pendapat, sultan atau pemerintah punya hak preogratif untuk menyatukan rakyatnya dalam satu hari raya.
Dan kewajiban rakyat adalah mematuhi apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sebab memang demikianlah salah satu fungsi pemerintah, yaitu mengambil jalan tengah dan menyatukan kebingungan umat. Meski mungkin harus mengalahkan salah satu pendapat. Tentunya harus diambil keputusan dengan banyak pertimbangan. Bukan semata-mata pertimbangan sentimen pribadi atau golongan.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc