Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pak Ustadz yang terhormat, Di masjid tempat saya tinggal pada bulan Ramadhan ini setelah sholat subuh selalu diadakan dzikir al-ma’surat as-sughra (mohon maaf kalau salah menulis) secara berjamaah dipimpin oleh imam. Yang menjadi pertanyaan: apakah dzikir tersebut dilakukan oleh Rasulullah atau pernah dilakukan secara berjama’ah dengan para sahabat? Atau pernah dilakukan oleh para tabi’in dan alim ulama? Adakah hadistnya? Sebab saya kuatir akan menjadi bid’ah. Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu’alaikum Wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Masalah yang anda tanyakan ini memang selalu menjadi ajang perdebatan seru sepanjang sejarah. Yaitu masalah zikir bersama dengan satu pimpinan.
Penyebab perbedaan pendapat adalah perbedaan cara mengambil kesimpulan hukum dari nash-nash yang sama. Artinya, dari segi dalil yang bersumber kepada hadits-hadits nabawi yang shahih, sudah tidak ada masalah, karena semua sepakat merujuk kepada hadits-hadits itu.
Yang jadi masalah justru ketika masing-masing ulama mengambil kesimpulan setelah membaca hadits-hadits itu. Ternyata hadits boleh saja sama-sama shohih dan kepala boleh sama-sama hitam, tetapi jalan berpikir belum tentu sama.
Walhasil, masalah ini akan tetap selalu jadi ajang perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Dalil-dalil yang Disepakati
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا, يَذْكُرُونَ اَللَّهَ إِلَّا حَفَّتْ بِهِمُ الْمَلَائِكَةُ, وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ, وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ
Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk berzikir kepada Allah, kecuali melaikat menaungi mereka dan menaburi mereka dengan rahmah dan Allah menyebut nama mereka disisinya." (HR Muslim)
As-Shan’ani dalam kitab Subulussalam menjelaskan bahwa hadits ini menunjukkan pada fadhilah majelis zikir, juga fadhilah orang-orang yang berzikir dan fadhilah ijtima’ (berkumpul) untuk berzikir bersama.
– وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَا قَعَدَ قَوْمٌ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُوا اَللَّهَ, وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى اَلنَّبِيِّ إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَقَالَ, "حَسَنٌ
Dari Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah suatu kaum duduk tanpa berzikir kepada Allah SWT dan tidak bershalawat kepada nabi SAW, kecuali mereka mengalami kerugian di hari kiamat." (HR Tirmizy)
Allah memiliki para malaikat yang kerjanya berkeliling di jalan-jalan mencari ahli zikir. Bila mereka menemukan suatu kaum sedang berzikir menyebut nama Allah SWT, mereka berseru sesama mereka, ”Kemarilah, tunaikan hajat kalian”. Mereka mengelilingi dengan sayap mereka hingga langit dunia. (HR Bukhari)
Perbedaan Pandangan
Meski dalil-dalil di atas sudah disekapati keshahihannya, namun tetap saja muncul perbedaan dalam memahaminya.
Sebagian orang berpendapat bahwa dalil di atas adalah dasar dari dianjurkannya berzikir secara berjamaah dan di bawah satu komando. Seperti yang sering kita saksikan dalam acara dzikir berjamaah, atau dalam acara tahlilan dan sejenisnya.
Membaca dzikir al-ma’tsurat yang anda tanyakan itu kira-kira bisa disejajarkan dengan praktek yang mungkin sudah lama ada di negeri kita. Hanya bedanya, urutan lafadz dzikirnya sedikit berbeda, karena disusun oleh orang yang berbeda.
Al-Ma’tsurat itu disusun oleh Hasan Al-Banna, yang berisi zikir-zikir yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW, namun urutannya dan jumlahnya tidak ada ketetapan dari beliau SAW. Dan kalau mau didalami lagi, dzikir yang pernah dibaca beliau SAW tidak terbatas hanya pada yang disusun oleh Al-Banna, tetapi lebih banyak lagi. Dahulu beliau meminta kepada para pendukung dakwahnya untuk melazimkan diri selalu membaca dzikir ini pada setiap pagi dan petang, dengan urutan yang seperti itu bahkan secara berjamaah bersama-sama.
Pemahaman yang Lain
Sementara itu ada sebagian ulama lain yang meski menerima hadits-hadits di atas, namun cara memahaminya sedikit berbeda. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dzikir dalam hadits di atas bukanlah bacaan-bacaan dzikir, melainkan maksudnya adalah mengajarkan ilmu-ilmu agama. Karena makna dzikir itu mengingat, bukan membunyikan bacaaan.
Sebagian lainnya mengataan memang benar bahwa yang dimaksud dengan dzikir pada hadits-hadits di atas artinya memang melafadzkan dzikir-dzikir dengan lisan. Namun tidak ada penjelasan bahwa mereka membacanya secara bersama-sama dengan suara keras di bawah satu komando dan irama-irama tertentu. Bagi mereka, berdzikir bersama itu maksudnya hanya sama-sama berdzikir masing-masing, tanpa komando dan tanpa irama.
Kebid’ahan yang mereka maksud adalah ketika dzikir itu di bawah satu komando dan satu irama. Termasuk juga bila hanya melafazkan urutan-urutan tertentu saja, sedangkan dzikir-dzikir yang nabi ucapkan tidak dengan urutan seperti itu.
Sebagian mereka juga menyoroti bahwa waktu-waktu dzikir yang sering disebutkan nabi adalah pagi dan siang hari, namun dalam pandangan mereka bukan berarti harus setiap habis shalat shubuh berjamaah. Melazimkan praktek seperti itu buat mereka sudah dianggap menciptakan tren ibadah tersendiri, dan hal itu sangat dekat dengan bid’ah.
Sikap Kita
Tentu saja kita sangat menghargai cara pandang masing-masing ulama. Boleh jadi apa yang mereka katakan ada benarnya, meski mungkin saja juga mengandung kesalahan. Dan boleh jadi, pendapat ulama lainnya pun demikian.
Selama suatu dalil masih mengandung kemungkinan multi tafsir, rasanya agak sulit buat kita untuk main hakim dan menjatuhkan vonis bid’ah dan sejenisnya.
Karena fiqih Islam itu luas dan terdiri dari banyak pendapat. Kalaulah kita ingin berpendapat dan yakin bahwa pendapat kita ini paling benar, maka sebaiknya kita mengatakan bahwa pendapat saya ini benar namun ada kemungkinan mengandung kesalahan. Dan pendapat orang lain menurut saya salah tapi ada kemungkinan mengandung kebenaran.
Itulah etika seorang faqih yang ilmunya mendalam. Bukan asal tuding bid’ah, sesat, fasik atau mulhid. Karena kita tidak pernah diajarkan untuk melakukan hal itu sejak pertama kali berkenalan dengan syariat Islam. Wilayah fiqih Islam adalah wilayah ijtihad, di mana seorang mujtahid akan mendapat 2 pahala bila benar pendapatnya dan 1 pahala bila salah.
Kalau kita setuju dengan suatu pendapat, kita boleh mengikutinya tanpa harus mengejek orang lain yang pendapatnya tidak sama dengan kita. Kita juga boleh memilih untuk tidak mengikuti suatu pendapat tanpa harus juga merasa bersalah karena pilihan kita tidak sama dengan pilihan teman kita sendiri.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.