Salaamun’alaykum,
Ustadz, apa hukumnya bagi sebagian orang yang diminta untuk ceramah agama di suatu tempat lalu ia meminta/tawar-manawar upahnya? Kalau setuju, maka jadilah ceramah itu. Kalau tidak, maka disuruh mencari ustadz lain yang harganya cocok.
Terima kasih.
Wassalaamun’alaykum wr. wb.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Tentu saja perbuatan seperti itu sangat tidak etis dilakukan oleh seorang juru dakwah. Sebab dakwah tidak boleh dikaitkan dengan upah dan honor. Dakwah adalah kewajiban yang ada di pundak setiap muslim, baik dakwah dalam bentuk ceramah atau dalam bentuk-bentuk yang lain.
Seorang penceramah yang memasang tarif tertentu kepada pengundangnya, tentu saja nilai keberkahannya kurang. Bisa menimbulkan kebingungan di mata orang, apakah penceramah ini berniat untuk dakwah atau mau cari uang?
Apalagi sampai menolak undangan ceramah hanya semata-mata karena honor yang dijanjikan tidak disepakati, sampai disuruh mencari ustadz lainnya, maka sangat terasa sekali betapa semua itu dikomersilkan. Seolah jasa seorang penceramah agama itu disamakan dengan jasa penghibur, penyanyi, pelawak dan sejenisnya.
Hukum Menerima Honor Ceramah
Pada dasarnya dalam hukum Islam, seorang yang mengajarkan al-Quran dan ilmu-ilmu yang bermanfaat berhak mendapatkan upah atas jasanya itu. Bahkan mengajarkan Al-Quran secara syar`i bisa dijadikan sebagai mas kawin(mahar) dalam pernikahan. Jadi seorang guru atau ustadz yang telah berjuang di jalan Allah untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam, pada dasarnya memang berhak untuk mendapatkan upah atas keringatnya itu.
Karena bila tidak, dari mana dia akan menghidupkan keluarganya yang merupakan kewajibannya. Sedangkan kalau mereka semua berhenti mengajar ilmu-ilmu Islam dan beralih profesi berdagang di pasar, maka siapa lagi yang akan mengajarkan dan mempertahankan agama ini. Karena itu, mereka berhak mendapatkan upah atas kerja mereka yang sangat berharga.
Masalahnya tinggal bagaimana teknisnya. Di negara-negara Islam, profesi ustaz, pengajar, bahkan imam dan muazzin di masjid itu ditanggung gajinya oleh negara. Dan negara mendapatkan dana itu dari Baitul Mal termasuk dari uang zakat. Sehingga para khatib dan ustaz tidak langsung menerima upah dari murid atau orang yang mereka layani, sehingga tidak terkesan menjual ilmu dan doa.
Tapi di negeri non Islam, negara sama sekali tidak memikirkan hal itu, sehingga umat sendirilah yang harus memikirkannya. Dan sayangnya lagi, umat Islam di banyak tempat belum lagi memiliki Baitul Mal untuk menjamin kelangsungan hidup para ustaz dan lainnya. Yang terjadi justru mereka menyisihkan uang untuk dikumpulkan di kas masjid atau kas majelis taklim dan sebagian diberikan kepada ustaz yang mengajar.
Kalau masjid atau majelis taklim itu dikelola oleh sebuah instansi yang memiliki budget tersendiri yang memadai, bisa jadi ‘dana amplop’ untuk para ustaz menjadi lumayan besar untuk ukuran umum. Namun terkadang fenomena ini sering salah disikapi oleh mereka sendiri, karena tidak jarang ada sebagian mereka yang mulai membuat ‘peta’ dan klasifikasi. Kalau ceramah di kantor anu, maka amplopnya lebih tebal dari kalau ceramah di masjid kampung anu. Lalu muncul istilah wilayah ‘basah’ dan wilayah ‘kering’.
Lucunya lagi, terkadang ada semacam pentarifan nilai amplop di kalangan mereka. Kalau ustaz yang diundang itu lumayan ngetop, karena sering muncul di TV misalnya, maka amplopnya harus lebih besar, tapi kalau ustaznya ‘anonmim’, tidak terkenal, maka amplopnya bisa jadi ala kadarnya.
Terkadang ukurannya bukan lagi level ilmu dan kemampuannya, tetapi ngetop tidaknya sang ustaz. Dan bisa jadi ustaz itu malah dari kalangan mereka yang dari segi ilmunya sangat sedikit, tapi orang-orang terkadang tidak peduli dengan semua itu. Karena semangatnya mungkin bukan lagi menimba ilmu, tapi semangat popularitas, gengsi dan sejenisnya.
Misalnya, kalau suatu masjid bisa mendatangkan ustaz ‘x’ yang sedang ngetop, maka ‘gengsi’ pengurus majid itu akan naik. Walaupun untuk itu mereka harus merelakan harga amplop yang jutaan rupiah.
Memang para ustaz itu umumnya tidak pasang tarif, tetapi ada juga satu dua yang melakukan hal itu meski tidak secara langsung. Terutama yang sudah go public tadi, mereka bahkan menggunakan semacam ‘manager’ bak para artis mau diundang ke suatu pertunjukan. Nah, para ‘manager’ inilah yang menentukan nilai itu meski pun juga tidak sevulgar para selebriti. Akhirnya jadilah profesi ustaz ini layaknya para artis yang ‘pasang tarif’ untuk ceramahnya, bermobil mewah, rumah megah, harta bertumpuk dan segenap kemewahan lainnya. Tentu saja prilaku ini merupakan hak masing-masing orang, karena pada dasarnya apa yang dimilikinya itu halal, karena bukan harta hasil curian. Semua itu merupakan jerih payah mereka juga.
Kalaupun ada yang perlu dikritisi, barangkali semangat kebersamaan dan kesederhanaan mereka, Karena mereka hidup di negeri yang mayoritas penduduknya sangat miskin dan hampir mati kelaparan. Seyogyanya penampilan mereka mencerminkan kesederhanaan dan keprihatinan juga. Karena harta yang banyak dan berlimpah itu pastilah juga akan dimintai pertanggung-jawaban di akhirat kelak.
Tapi perlu dipahami bahwa fenomena itu tentu saja tidak bisa digeneralisir, bahwa setiap ustaz pasti berperilaku demikian. Masih banyak para ustaz lain yang bersahaja, sederhana, rizqinya hanya ngepas buat makan saja, kemana-mana naik bus kota, hujan kehujanan dan panas kepanasan. Padahal bisa jadi ilmu yang mereka miliki jauh lebih tinggi dan lebih dalam dari pada ustaz yang ber-BMW.
Tapi semua kita kembalikan saja kepada Allah. Dan buat para ustaz yang sudah lumayan ‘gemuk’, mintalah fatwa kepada nurani anda sendiri. Karena nurani anda itu jauh lebih jujur dan lebih bisa anda dengar ketimbang melalui mulut orang lain.
Menjual ayat adalah bila seseorang menutup mata atas kemungkaran dan keharamannya dari ayat-ayat Allah. Lalu mencari ayat yang tidak sesuai dengan konteksnya. Sehingga dia memproduksi fatwa yang sebenarnya bertentangan dengan kebenaran. Semua itu dilakukannya hanya karena mengharapkan keridhaan penguasa atau orang yang bayar. Hal itu pernah terjadi pada para pendeta bani Israil, di mana Allah mengutuk perbuatan seperti itu.
Dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa (QS. Al-Baqarah: 41).
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya petunjuk dan cahaya, yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah: 44).
Sedangkan orang yang waktunya habis untuk berjihad dan berdakwah sementara tugas itu memang mutlak harus dikerjakan, maka orang itu berhak mendapatkan dana zakat dari asnaf `fi sabilillah`. Menurut para fuqoha, kelompok `fi sabililah` tidak berhenti pada mereka yang berperang di daerah konflik saja, tapi mereka yang berjuang untuk menegakkan kalimat Allah dengan ikhlas, murni dan benar pun bisa dikategorikan berjuang fi sabilillah. Apalagi di tempat di mana dakwah Islam masih sangat sedikit dan kurang, terutama di negeri minoritas dan negeri yang Islam menjadi sangat asing bagi pemeluknya sendiri.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.