Namun, jika tidak ada yang membawakan makanan dan minuman untuknya ke dalam masjid, dia boleh keluar mencari makan. Karena dalam kondisi tersebut, keluar dari masjid untuk mencari makanan termasuk kebutuhan mendesak baginya.
Jika tidak sedang i’tikaf
Sedangkan untuk orang-orang yang tidak sedang i’tikaf di dalam masjid, dia dibolehkan makan di dalam masjid. Tidak ada batasan bahwa hal itu hanya boleh untuk musafir, misalnya, karena dalil-dalil yang ada bersifat umum.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ جَزْءٍ الزُّبَيْدِيِّ، قَالَ: ” أَكَلْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شِوَاءً فِي الْمَسْجِدِ، فَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَأَدْخَلْنَا أَيْدِيَنَا فِي الْحَصَى، ثُمَّ قُمْنَا نُصَلِّي، وَلَمْ نَتَوَضَّأْ
“Dari ‘Abdullah bin Al-Kharits bin Jaz’i Az-Zubaidi, beliau mengatakan, “Kami makan daging panggang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Kemudian iqamah dikumandangkan, dan kami masukkan tangan kami ke dalam kerikil. Kami pun berdiri untuk shalat dan tidak berwudhu,” (HR. Ahmad no. 17702, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Arnauth).
Demikian juga ‘Abdullah bin Al-Kharits bin Jaz’i Az-Zubaidi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ
“Pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami makan roti dan daging di dalam masjid.” (HR. Ibnu Majah no. 3300, dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani).
Hal ini erat kaitannya dengan kisah diikatnya Tsumamah bin Utsal di masjid. Saat itu, Tsumamah (yang masih dalam agama kaum musyrikin), berupaya untuk membunuh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun digagalkan oleh Umar bin Khathab radhiallahu ‘anhu. Kemudian ia pun diikat di masjid.
Pada hari ketiga, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melewatinya dan bertanya:
مَا عِنْدَكَ يَا ثُمَامَةُ
“Apa yang engkau miliki wahai Tsumamah?” (HR. Bukhari no. 2422, 4372 dan Muslim no. 1764).
Maksudnya, beliau bertanya kepada Tsumamah apakah dia sudah makan atau belum?
Demikian pula kisah sahabat Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu yang terluka pada saat perang Khandaq. Kemudian beliau dibuatkan kemah di masjid oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dekat dengan beliau selama masa perawatan.
Dalil-dalil di atas menunjukkan bolehnya makan di masjid. Hal ini karena jika perbuatan tersebut dilarang, tentu sudah akan tersebar dan dikenal di kalangan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Selain itu, hukum asal dalam masalah ini adalah mubah.
Meski demikian diimbau kepada orang yang makan di dalam masjid agara meletakkan wadah atau sejenisnya di tempat yang seharusnya agar tidak mengotori kesucian masjid. (okz)