Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum wr. wb.
Ustadz yang saya hormati,
Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ‘ringan’ dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
Jazakallahu khair atas jawaban ustadz.
Assalamu ‘alaikum wrahmatullahi wabarakatuh,
Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu mazhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti mazhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
1. Mereka yang Mengharuskan
Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu mazhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap mazhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti mazhab.
2. Mereka yang Tidak Mengharuskan
Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakansebenarnya kalau diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti mazhab berkali-kali.
Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman Allah:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43)
Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr, yang diterjemahkan sebagai ulama, fuqaha’ ahli ilmu syariah yang kompeten dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada satu orang saja.
Bagaimana dengan Kita?
Di tengah beda pendapat antara dua ‘kubu’ ini, kami lebih cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang ‘alim yang sangat menguasai ilmu agama dalam versi mazhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham mazhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama.
Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ‘alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya.
Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul beberapa ulama dari beberapa mazhab yang saling. Maka buat orang-orang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa mazhab itu. Tidak ada keharusan untuk ‘selalu setia sepanjang masa’ dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentudari mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari mereka.
Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermazhab satu saja, tidak wajib berpindah-pindah mazhab. Karena pindah-pindahitu justru menyulitkan.
Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam mazhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu mazhab, meski di sekeliling terdapat banyak mazhab lain.
Artinya, yang mana saja yang kita ikuti, selama suatu pendapat keluar dari seorang ulama yang kompeten dalam masalah istimbath hukum fiqih, silahkan saja. If’al-wa laa haraj, lakukan dan tidak ada keberatan.
Dalam Satu Mazhab Bisa Saja Ada Banyak Pendapat
Apa yang kami sampaikan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa di dalam satu mazhab pun sangat mungkin terjadi perbedaan-perbedaan lagi.
Kalau kita umpamakan, anggaplah ada mazhab 1, 2, 3 dan 4. Terhadap suatu masalah, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat di antara keempat mazhab itu. Tapi kalau kita teliti di mazhab 1, ternyata masih ada perbedaan lagi.
Kita misalkan ada tiga pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Di dalam mazhab 2, juga adalagi berpedaan pendapat, yaitu pendapat a, b dan c. Bukan itu saja, ternyata di dalam mazhab 3 ada juga perbedaan pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Demikian juga di dalam mazhab 4, ada tiga pendapat yang berbeda, yaitu pendapat a, b dan c.
Maka kita akan punya 12 pendapat yang berbeda-beda, bukan hanya 4 pendapat saja.
Dan sangat boleh jadi, pecahan pendapat dari suatu mazhab justru punya kesamaan dengan pecahan pendapat dari mazhab lainnya. Misalnya, pendapat mazhab 1b sama dengan pendapat mazhab 3c. Pendapat mazhab 4 d sama dengan pendapat 2 d.
Kalau sudah begini, bagaimana kita mengatakan bahwa kita wajib berpegang teguh hanya pada satu mazhab saja? Padahal di dalam mazhab itu ada begitu banyak variasi pendapat?
Pendapat Suatu Mazhab Mungkin Saja Dikoreksi
Berpegang hanya pada satu mazhab saja ternyata tidak terlalu mudah. Sebab boleh jadi pendapat dalam satu mazhab berganti-ganti.
Jangan dibayangkan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad dari suatu mazhab bersifat mutlak dan tidak bisa diubah lagi. Sebagian dari hasil ijtihad mazhab-mazhab itu sangat mungkin untuk dikoreksi dan diubah oleh ulamanya.
Ambillah contoh Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah, yang punya dua versi dalam mazhabnya, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Sebagai contoh aplikatif, dalam qaul qadim-nya beliau berpendapat bahwa tayammum itu harus mengusapkan debu ke kedua tangan hingga kedua tapak tangan saja, tidak perlu sampai siku seperti dalam wudhu.
Namun dalam qaul jadid-nya, beliau mengoreksi hasil ijtihadnya dan mengatakan bahwa mengusapkan debu ketika tayammum harus sampai ke kedua siku, sebagaimana dalam wudhu’.
Orang Awam Bingung Pengelompokan Berdasarkan Mazhab
Dan yang paling menjadi hujjah tidak harusnya kita berpegang pada satu mazhab saja adalah bahwa kita sulit mengidentifikasi suatu pendapat itu merupakan produk mazhab mana.
Khususnya hal ini terjadi di wilayah di mana syariat Islam tidak diajarkan berdasarkan satu mazhab saja. Seperti yang umumnya dialami oleh muslim perkotaan. Sebab mereka punya akses yang begitu banyak, akibat padatnya arus informasi beragamnya kemungkinan akses kepada beragam ilmu syariah.
Kalau kita wajibkan mereka bermazhab dengan satu mazhab saja, justru menyulitkan, sebab mereka justru tidak tahu, detail-detail ibadah mereka itu sesuai dengan mazhab yang mana.
Apakah dalam keadaan demikian kita mengatakan bahwa sebelum menjalankan shalat, seseorang diwajibkan mencari runtutan identitas mazhabnya? Apakah kita akan bilang shalatnya tidak sah kalau tidak tahu versi mazhabnya?
Tentu hal ini justru sangat memberatkan dan jadi beban tersendiri. Sebab adanya mazhab-mazhab ulama justru untuk memudahkan orang awam, sehingga tidak perlu lagi mereka direpotkan untuk berijtihad sendiri. Sesuatu yang boleh dibilang mustahil buat orang awam, mengingatkan syarat bolehnya berijtihad itu lumayan berat.
Syariah itu jadi mudah dengan adanya mazhab, bukan untuk bikin susah.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.