Banjir Landa Jakarta, Ini Fikih Keringanan Salat untuk Korban Bencana

Permasalahan kehilangan waktu salat karena situasi evakuasi bencana atau banjir, dapat diqiyaskan dengan orang yang ketiduran dan lupa. ‘Illah adalah sama-sama meninggalkan salat dengan cara yang tidak disenggaja. Lalu bagaimana menjalankan ibadah salat, jika pakaian yang bersih dan pantas, serta menutup aurat tidak tersedia?

Dalam Alquran, umat Islam diperintahkan setiap kali melaksanakan salat harus memakai pakaian yang bersih dan indah (QS. Al A’raf (7); 31). Perintah tersebut juga ditegaskan oleh Nabi, bahwa pakaian yang terkena najis tidak boleh digunakan untuk salat.

Sementara, beberapa hal ini termasuk dalam kategori najis dalam fiqih. Yakni, kotoran dan muntah manusia, air mazi dan wadi, kotoran hewan (khususnya yang haram untuk dimakan), bangkai hewan, anjing, dan babi. Sehingga jika pakaian terkena benda di antara yang disebutkan maka pakaian tersebut najis.

Namun dalam kondisi bencana, di mana situasi tidak memungkinkan untuk mengganti pakaian yang bersih, hal tersebut dapat dimaklumkan dan salatnya tetap menjadi sah. Karena kewajiban salat harus tetap dijalankan meskipun salah satu rukun tidak terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat, sehingga menyebabkan pengecualian.

Kaidah fiqihnya adalah, “Kondisi darurat dapat membolehkan sesuatu yang pada asalnya dilarang.”

Dan, yang melaksanakan salat dalam keadaan aurat tidak tertutup sempurna karena keadaan yang memaksa, maka bagi korban bencana tetap diwajibkan untuk melaksanakan salat. Sering ditemukan dalam keadaan bencana, masyarakat yang lebih memilih untuk meningalkan salat karena beralasan auratnya tidak tertutup sempurna.

Dalam kacamata fikih, kondisi bencana juga dapat digolongkan dalam golongan darurat seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian hukum kewajiban untuk melaksanakan salat tetap, meskipun aurat tidak tertutup sempurna.