Eramuslim – Dalam dunia kedokteran maupun dalam pembuatan parfum, tak jarang ditemukan keterangan bahwa produk tersebut mengandung alkohol sebagai salah satu campuran produk tersebut.
Lalu bagaimana hukumnya parfum dan obat-obatan yang mengandung alkohol?
Sejatinya tak ada keterangan definitif nash Alquran, sunah, dan fikih klasik yang secara jelas (shorih) mengenai alkohol. Ketika tersebar luas keberadaannya, terjadi perbedaan pandangan mengenai hukumnya.
Seperti dilansir dari website Pondok Pesantren Lirboyo, sebagian ulama memasukkannya dalam kategori minuman yang memabukkan. Sebagai perkara yang memabukkan (muskir) dengan karakteristik cair, alkohol statusnya adalah najis.
Namun apabila penggunaan alkohol menjadi kebutuhan seperti campuran obat-obatan maupun pelarut parfum, maka hukumnya najis namun ditolerir oleh syariat (Ma’fu). Sebagaimana penjelasan Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah:
وَمِنْهَا الْمَائِعَاتُ النَّجَسَةُ الَّتِي تُضَافُ إِلَى الْأَدْوِيَّةِ وَالرَّوَائِحِ الْعَطَرِيَّةِ لِإِصْلَاحِهَا فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنِ الْقَدْرِ الَّذِي بِهِ الْإِصْلَاحُ قِيَاسًا عَلَى الْأَنْفَحَةِ الْمَصْلَحَةِ لِلْجُبْنِ
“Termasuk bagian dari barang-barang najis yang ditolerir adalah najis yang terdapat pada obat-obatan dan wewangian harum dengan tujuan untuk memperbaikinya. Maka (keberadaan barang najis) itu ditolerir cukup dengan kadar yang dipakai untuk memperbaikinya dengan dianalogikan pada aroma yang digunakan untuk memperbaiki keju”.