Berdasarkan kaidah ini, perempuan boleh saja membuka auratnya dalam situasi darurat. Dijelaskan dalam Nadham al-Qawa’id al-Fiqhiyyah hal. 59, bahwa ulama juga membolehkan membuka aurat karena ada kebutuhn (al-hajah), seperti ketika mandi, membuang air kecil dan besar, serta berhias. Namun, kebolehan itu berlaku ketika tidak ada orang sama sekali (khalwat). Hajat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang menuntut pada kemudahan untuk mencapai tujuan. Kedudukan hajat terkadang diposisikan sama seperti darurat. Sebuah kadiah fikih berbunyi:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة
“Kebutuhan terkadang diposisikan seperti darurat, baik secara umum maupun khusus.”
Dari kaidah ini bisa ditarik kesimpulan bahwa terkadang hajat juga bisa membolehkan sesuatu yang dilarang sebagaimana darurat. Lalu bagaimana dengan menampakkan payudara untuk kepentingan menyusui anak. Apakah termasuk dalam kategori darurat atau yang lainnya? Jawabnya dipilah.
Artinya menyusui anak di tempat umum, di depan khalayak ramai bisa saja dalam kategori darurat. Misalkan kalau sampai tidak menyusui bayi akan terus menerus menangis sehingga akan mengganggu orang-orang di sekitarnya. Maka dalam situasi seperti ini, si ibu boleh-boleh saja menyusui sang anak.
Tetapi menurut az-Zarqa’, kasus ini bisa masuk dalam kategori hajat yang hanya sekadar menuntut kemudahan sama seperti aurat untuk kepentingan mandi, membuang air kecil dan besar serta berhias. Dalam konteks ini, menampakkan payudaranya untuk menyusui anak adalah diperbolehkan selama ia tidak dilihat oleh orang lain (ajnabiy).
Adapun titik keharaman melihat aurat perempuan adalah adanya kekhawatiran akan terjadi fitnah. Baik kekhawatiran itu jarang terjadi atau sering terjadi. Standarisasi kekhawatiran adalah kekhawatiran adanya dorongan terhadap diri seseorang untuk menyentuh atau berkhalwat berdua-duaan dengan perempuan tersebut.