Berdasarkan alur berpikir di atas, maka bisa ditarik sebuah jawaban bahwa perempuan yang menampakkan payudaranya di hadapan ajnabiy ketika menyusui bayinya adalah haram. Karena kalau kita mengikuti pendapat jumhur terkait dengan batasan aurat perempuan, maka payudara termasuk aurat yang wajib ditutupi.
Akan tetapi boleh saja menampakkan payudara asalkan di hadapan mahramnya. Karena aurat perempuan di hadapan mahramnya adalah anggota badan yang berada di antara pusar dan lutut. Kebolehan melihat selain aurat di sini berlaku jika tidak timbul syahwat, jika timbul syahwat maka haram. Syahwat yang dimaksud adalah tergeraknya hati terhadap keinginan untuk berjima’ baik dibarengi dengan istinsyar-nya dzakar atau tidak, serta baik dibarengi dengan tampaknya madzi atau tidak.
Lantas bolehkah menampakkan payudara di tempat-tempat umum dengan alasan hajat atau darurat?
Pada dasarnya syara’ memberikan ruang gerak kepada kaum hawa untuk membuka aurat di saat dalam kondisi emergency (darurat). Seperti untuk keperluan pengobatan dan khitan. Dalam terminologi fikih, darurat adalah suatu kondisi yang apabila tidak dilakukan, maka seseorang akan ditimpa kesulitan di mana tidak ada sesuatu apapun yang bila mengganti hal tersebut kecuali melakukan hal itu. Sebagian pakar fikih juga mendefinisikan darurat sebagai suatu kondisi yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan. Sebuah kaidah fikih yang mengatakan:
الضرورات تبيح المحظورات
“Kemudharatan bisa membolehkan perbuatan yang dilarang.”