Berdasarkan konteks sebab turunnya ayat ini, penggunan jilbab bertujuan sebagai penanda bahwa perempuan tersebut adalah perempuan merdeka (al-hurrah). Karena di zaman Nabi, perempuan jarang sekali menggunakan busana yang menutupi seluruh anggota badannya selain wajah dan telapak tangan. Akibatnya, mereka sulit untuk dibedakan antara perempuan merdeka atau budak.
Dengan menutupi seluruh tubuhnya, perempuan tersebut akan terpelihara dari berbagai gangguan tangan usil, kata-kata tidak pantas, senonoh, dan niat jahat. Ini berdasarkan keterangan dalam kitab Fath al-Qadir hal. 79.
Menurut Imam al-Qurthubi ayat yang seirama dengan kewajiban di atas adalah firman-Nya :
يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسايواري سوآتكم وريشا
“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.”
Sedangkan yang dimaksud dengan aurat (عورات) secara semantis terambil dari kata (عار) yang berarti aib atau sesuatu yang tidak pantas. Dari segi hukum, aurat adalah bagian tubuh dari manusia yang wajib ditutup.
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat terkait batasan aurat perempuan. Menurut jumhur ulama, aurat perempuan di dalam salat maupun di hadapan laki-laki ajnaby (bukan suami atau mahram) adalah seluruh badannya kecuali muka dan dua telapak tangan. Salah satu dasar argumentasi jumhur adalah hadist nabi yang dijelaskan dalam kitab Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 2 hal. 226.
إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا
“Sesungguhnya apabila perempuan telah sampai pada usia haid, maka dia tidak boleh untuk dilihat. Kecuali ini (Nabi menunjuk muka dan dua telapak tangan.”