Imam Nawawi mengatakan, berbagai macam teks redaksional dalam madzhab Syafi’i menyatakan, menjual hewan kurban yang meliputi daging, kulit, tanduk, dan rambut, semunya dilarang. Begitu pula menjadikannya sebagai upah para penjagal.
واتفقت نصوص الشافعي والاصحاب على انه لا يجوز بيع شئ من الهدي والاضحية نذرا كان أو تطوعا سواء في ذلك اللحم والشحم والجلد والقرن والصوف وغيره ولا يجوز جعل الجلد وغيره اجرة للجزار بل يتصدق به المضحي والمهدي أو يتخذ منه ما ينتفع بعينه كسقاء أو دلو أو خف وغير ذلك
Artinya; “Beragam redaksi tekstual madzhab Syafi’i dan para pengikutnya mengatakan, tidak boleh menjual apapun dari hadiah (al-hadyu) haji maupun kurban baik berupa nadzar atau yang sunah. (Pelarangan itu) baik berupa daging, lemak, tanduk, rambut dan sebagainya.”
Dan juga dilarang menjadikan kulit dan sebagainya itu untuk upah bagi tukang jagal. Namun (yang diperbolehkan) adalah seorang yang berkurban dan orang yang berhadiah menyedekahkannya atau juga boleh mengambilnya dengan dimanfaatkan barangnya seperti dibuat untuk kantung air atau timba, muzah (sejenis sepatu) dan sebagainya. (Lihat Imam Nawawi, Al-Majmu’, Maktabah Al-Irsyad, juz 8, halaman 397).
Jika terpaksa tidak ada yang mau memakan kulit tersebut, bisa dimanfaatkan untuk hal-hal lain seperti dibuat terbang, bedug, dan lain sebagainya. Itupun jika tidak dari kurban nadzar. Kalau kurban nadzar atau kurban wajib harus diberikan ke orang lain sebagaimana diungkapkan oleh Imam As-Syarbini dalam kitab Al-Iqna’.
Seperti dilansir NU Online, dalam menyiasati hal ini, panitia bisa memotong-motong kulit tersebut lalu dicampur dengan daging sehingga semuanya terdistribusikan kepada masyarakat. Bagi orang yang kurang mampu, kulit bisa dimanfaatkan untuk konsumsi lebih.
Risiko menjual kulit dan kepala hewan, bisa menjadikan kurban tersebut tidak sah. Artinya, hewan yang disembelih pada Hari Idul Adha malah menjadi sembelihan biasa, orang yang berkurban tidak mendapat fadlilah pahala berkurban sebagaimana sabda Rasulullah SAW.