Eramuslim – Aneh kalau ada yang berkata, “Kesampingkan akal di hadapan sunnah”, atau “Agama Islam sudah sempurna. Kita cukup Copy Paste saja,” dan ungkapan-ungkapan lain yang senada. Seolah-olah sebuah nash, baik ayat maupun hadits, bisa langsung diamalkan tanpa dipahami dulu. Memahami itu, tentu menggunakan akal. Tak ada yang lain.
Dari dulu para ulama sudah memperingatkan akibat kalau sebuah hadits tidak dipahami dengan baik. Hebatnya, yang memperingatkan itu justeru para ulama hadits sendiri.
Walaupun memang, banyak dari ulama masa itu yang menghimpun antara hadits dan fiqih, riwayah dan dirayah, penukilan dan pemahaman. Tapi tidak sedikit juga yang keahliannya hanya sekedar meriwayatkan saja, tidak memahami apa yang diriwayatkannya.
Ini yang disentil Imam Ibnu al-Jauzi رحمه الله dalam kitabnya Talbis Iblis. Ia mengatakan bahwa diantara bentuk talbis (kerancuan) yang dilemparkan Iblis kepada ashab hadits adalah mereka menghabiskan usia untuk mengumpulkan berbagai jalur periwayatan hadits, mengejar sanad yang tinggi, menghimpun matan-matan yang asing dan langka, lalu mereka mengabaikan sesuatu yang jauh lebih penting dari itu ; memahami substansi hadits.
Ibnu al-Jauzi menceritakan suatu kisah yang cukup menggelikan. Ia berkata, “Sebagian ahli hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melarang seseorang untuk mengairi tanaman orang lain. Mendengar hadits itu, beberapa dari mereka berkata, “Kami, sebelum ini, kalau ada air yang berlebih di kebun kami, memang kami alirkan ke kebun tetangga kami. Tapi sekarang kami menyesal dan mohon ampun kepada Allah سبحانه وتعالى.”