2. Autopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.
3. Autopsi jenazah sebagaimana dimaksud angka 2 harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. autopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya.
b. autopsi merupakan jalan keluar satusatunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point a.
c. jenazah yang diautopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan.
d. Jenazah yang akan dijadikan obyek autopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dihubungi secara terpisah, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Antar Umat Beragama KH. Nadjamuddin Ramly menjelaskan, autopsi boleh dilakukan jika keadaan benar-benar darurat dan dibenarkan hukumnya.
“Pemeriksaan kalau itu terkait dengan kriminalitas, saya kira untuk dibidang kedokteran sudah diberikan peluang untuk melakukan itu, bahwa betul-betul ingin pembuktian lebih lanjut, lebih dalam tentang itu. Jadi bagi MUI posisi autopsi itu pada kondisi darurat kalau tujuannya untuk membongkar kasus yang diperlukan untuk membuktikan kasus,” katanya kepada Okezone di Kantor MUI Pusat. (Okz)