Assalamu ‘alaikum
Bagaimana tanggapan Bung soal pengawasan aktivitas dakwah yang dilakukan POLRI, apakah ada konspirasi dibalik hal tersebut. syukkron
wassalamu ‘alaikum
Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh,
Saudara Zhee yang dirahmati Allah Swt, jujur saja, tatkala mendengar Polri akan melakukan pengawasan terhadap aktivitas dakwah (terutama mungkin khutbah) yang dilakukan para dai di bulan Ramadhan ini, saya hanya tertawa dan merasa nelangsa. Lagi-lagi aparat negeri ini mementaskan drama yang tidak lucu, setelah sebelumnya mementaskan lakon “Penyerbuan Temanggung” yang sama sekali tidak spektakuler, bahkan saya yakin membuat banyak orang, termasuk para anggota pasukan elit yang ada di TNI, tersenyum-senyum sendirian.
Mereka tentu menertawakan hal itu karena mereka sendiri hanya dengan satu regu saja, dalam hitungan menit, berhasil membebaskan ratusan sandera yang ada di dalam pesawat Woyla di Bandara Bangkok. Mereka, hanya satu regu kecil, mampu membebaskan para peneliti Lorenz yang disandera oleh OPM di Papua Barat yang sangat sulit medannya. Namun kejadian di Temanggung, benar-benar sebuah pemborosan uang rakyat, apalagi targetnya, cuma satu orang, ternyata tewas.
Buat apa untuk menewaskan satu orang yang bersembunyi di sebuah rumah kecil yang sederhana, aparat harus mengepungnya selama 18 jam? Padahal kalau mau konyol-konyolan, lepaskan saja sepuluh anjing pemburu milik polisi ke dalam rumah itu, atau sepuluh karung ular yang kelaparan, atau masukkan sepuluh gas airmata ke dalam rumah, pasti target akan terbirit-birit keluar. Ini jauh lebih menghemat uang rakyat.
Saya kemudian ingat. Jangan-jangan benar zaman ini zaman edan. Uang rakyat sudah lumrah dijadikan bancakan. Koruptor jauh lebih terhormat ketimbang maling sendal di masjid. Kian banyak uang yang dikorup, kian dihormatilah dia. Bukankah perampok uang rakyat lewat BLBI sampai sekarang masih bebas dan aman-aman saja?
Saya punya analogi begini: kita tentu tiap hari lewat jalan raya kan? Nah, kita tentu tahu ada banyak jalan raya yang rusak, bolong-bolong dan bergelombang, sehingga naik angkot, motor, atau mobil di jalan raya rasanya seperti tengah naik kapal laut yang sering diayun gelombang. Kita tentu sering jengkel, mengapa satu ruas jalan yang rasanya baru diperbaiki kok tidak lama kemudian sudah rusak lagi, diperbaiki, rusak lagi, diperbaiki, rusak lagi, demikian terus. Sebagai orang awam kita tentu heran, apakah pemerintah tidak bisa membuat jalan raya yang anti rusak? Atau katakanlah awet untuk jangka waktu yang sangat lama? Puluhan tahun?
Logika kita sebagai rakyat ternyata tidak nyambung dengan logika para aparatur negara. Dalam logika kebanyakan aparatur negara, jika jalan raya diperbaiki dengan sungguh-sungguh sehingga tidak rusak lagi, maka itu berarti tidak ada proyek, yang juga berarti tidak ada pemasukan ke kantung dia. Tidak ada hasil mark-up anggaran, tidak ada komisi, tidak ada biaya orientasi, tidak ada biaya ini dan itu, istilahnya “Kering”!. Sebab itu, agar proyek bisa jalan terus, agar pemasukan ke kantung sendiri bisa dilestarikan, maka jalan pun diperbaiki sekadarnya saja. Cukup untuk waktu musim panas saja. Ketika musim hujan datang dan jalan raya bolong-bolong lagi, ya diperbaiki lagi. Proyek lagi. Pemasukan lagi. Inilah enaknya jadi pejabat.
Bisa jadi, dalam kasus terorisme pun logikanya sama. Jika teroris sudah terbongkar tuntas sampai ke akar-akarnya, jika semua teroris sudah masuk penjara, maka tidak akan ada lagi dana pemberantasan terorisme. Kering! Dari “orang dalam” sendiri, saya mendapat informasi jika operasi pemberantasan terorisme di negeri ini juga dijadikan ajang saling sikut untuk bisa cari muka ke atasan, biar bisa cepat naik pangkat, atau bisa menduduki “pos yang basah”. Wallahu’alam bishawab.
Bisa jadi pula, Ibrohim di Temanggung itu sengaja dihabisi. Padahal jika mau mengungkap sungguh-sungguh jaringan teroris, Ibrohim seharusnya bisa ditangkap hidup-hidup agar nantinya dia bisa disuruh untuk mengaku atau memberikan informasi tentang teman-teman terorisnya. Dengan tewasnya Ibrohim, maka hal itu akan mempersulit pengungkapan jaringan teroris Malaysia Pak Cik Noordin bukan?
Nah, ketika menjelang Ramadhan kemarin polisi dengan tegas akan mengawasi dakwah di masjid-masjid dan mushola, ini tentu mengingatkan banyak orang akan kinerja kepolisian dan intelijen di zaman fasisme Orde Baru Jenderal Harto. Amat mirip dengan zaman setelah terjadinya pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tahun 1984 yang banyak memenjarakan para ustadz hanya gara-gara khutbah di masjid yang dianggap mengandung SARA atau provokatif.
Indonesia ini sekarang memang tambah konyol tapi sama sekali tidak lucu. Pagi hari, ketika beberapa stasiun teve tengah siaran langsung menayangkan “Reality Show” penyerangan sebuah rumah kecil di Temanggung, pagi itu saya menontonnya lewat sebuah teve di toko yang sangat dekat dengan lapak-lapak VCD/DVD bajakan (juga banyak yang porno) di Glodok. Beberapa aparat polisi mondar-mandir di sekitar saya. Pos mereka memang amat dekat dengan tempat penjualan VCD/DVD porno tersebut, tidak sampai 40 meter di belakangnya!. Namun usaha maksiat itu kelihatannya aman-aman saja. Padahal, VCD/DVD porno itu sesungguhnya juga teroris moral bangsa yang efeknya jauh lebih dahsyat ketimbang yang ada di Temanggung.
Dan ketika para ustadz dan dai yang berceramah di masjid akan diawasi, padahal banyak hal yang lebih berbahaya yang seharusnya disikat habis malah dibiarkan berjalan aman, saya lagi-lagi tersenyum getir. Proyek apa lagi ini? Wallahu’alam bishawab.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.