Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh…
Tari Pendet dan Reog: Dari Budaya Porno ke Budaya Pagan
Itu salah satu topik yang membuat saya mengernyitkan dahi. Dewasa ini pengakuan kepada dua bentuk warisan kebudayaan itu amatlah tinggi. Namun ketika dalam salah satu bahasan di web ini menyebut reog dan pendet merupakan bentuk budaya paganisme, saya jadi bingung.
Apa yang harus kita lakukan sebagai umat Muslim menyikapi hal tersebut ketika dibenturkan dengan kebanggan pada budaya nasional?
Semoga Allah Swt selalu merahmati kita semua. Aminn…
Wasalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
Alaykumsalam.wr.wb. Jazakallah untuk pertanyaannya, saudaraku Ari. Semoga Allah menjauhi kita dari bahaya Murtad tanpa sadar yang semakin beraneka ragam caranya di akhir zaman seperti sekarang ini. Allahuma Amin.
Saudaraku, Tari Pendet adalah sebuah tarian yang terkenal sekali di Indonesia. Tarian ini diciptakan oleh seniman tari Bali, I Nyoman Kaler, pada tahun 1970-an. Ia termasuk dalam jenis tarian wali, yaitu tarian Bali yang dipentaskan khusus untuk keperluan upacara keagamaan. Ingat, sekali lagi, ia dipentaskan dalam acara keagamaan. Lantas agama apa yang kemudian dipersembahkan dalam tarian ini? Tidak lain adalah ajaran agama musyrik yang menyembah dewa-dewa yakni Hindu.
Hal ini ikut diamini oleh Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia. Ia menegaskan bahwa menarikan tari Pendet sudah sejak lama menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan spiritual masyarakat Hindu Bali.
Namun jangan heran, ketika Tarian ini justru dilestarikan oleh pemerintah kita. Karena kita juga sadari kita hidup disebuah Negara dimana batasan musyrik yang menejerumuskan bangsanya kepada kekafiran, tidak begitu diperhatikan. Tari ini saja ketika diklaim oleh tetangga kita, Malaysia, justru pemerintah Indonesia yang marah. Warga Nusantara berbondong-bondong ingin menyerang Malaysia karena ajaran musyrik dari Negara Indonesia diklaim sama Malaysia. Harusnya kita marah, tapi bukan dalam perspektif nasionalisme, tapi Islam. Kita harus marah, karena jangan sampai saudara semuslim kita di Malaysia, bisa batal keimanannya hanya karena ikut mengagungkan tarian musyrik ini.
Dari Abu Hurairah Ra berkata:“Rasulullah SAW bersabda: “Seorang muslim adalah saudara sesama muslim, tidak boleh menganiaya sesamanya, tidak boleh membiarkannya teraniaya dan tidak boleh merendahkannya. Taqwa (kepatuhan kepada Allah) itu letaknya disini….” Dan beliau mengisyaratkan ke dadanya. Perkataan ini diulanginya sampai tiga kali. ”Cukup besar kesalahan seseorang, apabila dia menghinakan (merendahkan) saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap sesame muslim, terlarang menumpahkan darahnya (membunuh atau melukai), merampas hartanya dan merusak kehormatannya (nama baiknya).”
Tari-tari wali yang tercipta di Bali memang sangat kental akan inflitrasi tarian-tarian ritual di India. Menurut mitologi, tarian-tarian wali itu diciptakan oleh Dewa Brahma dan Dewa Siwa yang terkenal dengan tarian kosmisnya, yaitu Siwa Nata Raja. Di mana Dewa Siwa memutar dunia dengan gerakan mudranya yang berkekuatan ghaib. Setiap sikap tangan dengan gerakan tubuh memiliki makna dan kekuatan tertentu sehingga tarian ini tidak hanya menampilkan keindahan rupa atau pakaian, tetapi mempunyai kekuatan sekala dan niskala. Di Bali tidak sembarang digunakan. Hanya para Sulinggih (Brahmana atau orang suci) saja yang menggunakan gerakan tangan mudra ini, karena sangat sakral.
Selanjutnya, di Bali untuk menambah kekuatan sekala dan niskala pada tarian, sering kali tarian disertai dengan sesajian Pasupati untuk penari atau perlengkapan tari tertentu. Untuk pertunjukkan tari wali tertentu, diawali dengan sesajian dan tetabuhan agar tidak diganggu bhuta kala giraha dan bhuta kala kapiragan. Tak jarang persembahan tari dalam ritual tertentu dilakukan prosesi Pasupati, baik secara sederhana dengan menggunakan banten Pasupati atau dilakukan dengan lebih khusus, lebih besar atau istimewa untuk memohon agar si penari dibimbing sesuai dengan kehendak Ida Betara.
Maka itu kultur pagan yang menyembah Dewa-dewa sangat mengalir deras ke dalam tari pendet. Tari pendet ini memiliki makna untuk menyambut dewata yang turun ke bumi. Ia seakan sebuah simbol yang diberikan warga Hindu untuk menyambut Tuhannya ke muka bumi.
Dalam literatur Hindu, dewata bermakna "Para Dewa" atau dewa dalam bentuk jamak. Dewata dapat berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Terdapat banyak jenis dewata sepeti:wanadewata (roh penjaga hutan), gramadewata (dewa desa), dewata penjaga penyeberangan sungai, gua, gunung, dan tempat-tempat keramat lainnya. Dewata penjaga penjuru mata angin disebut Dewata Lokapala atau Dewata Nawa Sanga. Masing-masing kasta Hindu memiliki dewata pelindung, dan setiap aktivitas manusia memiliki dewata perwujudannya dalam ranah spiritual atau aspek rohani.
Maka bagaimana mungkin kita mengapresiasi ajaran kafir seperti ini bersamaan dengan status kita sebagai seorang mukmin. Padahal Allah jelas sekali memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk menjauhi thaghut atau tuhan-tuhan Palsu yang akan melunturkan tauhid kita.
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan ): “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu,” (QS An-Nahl 36)
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS Az Zumar 65)
Sama pula dengan Tari Reog, mungkin dari kita tidak mengetahui atau mengenal sejarah reog itu sendiri. Padahal Reog ponorogo amat kental akan ajaran Majapahit, dan kita ketahui Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha yang pernah berdiri di Nusantara sekitar tahun 1293 hingga 1500 M.
Dalam sejarah Reog, salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir.
Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Sedangkan versi lain, juga menjelaskan tentang pengaruh ajaran pagan dalam sejarah Reog. Adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri.
Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan ‘kerasukan’ saat mementaskan tariannya.
Jadi saudaraku, mengetahui bagaimana ihwal dua tarian ini sudah seharusnya kita mengambil sikap. Jelas skeali sikap kita adalah menjauhi kedua tarian ini dan selamatkan keluarga kita, kerabat kita, masyarakat kita untuk tidak terjebak kepada fitnah dua tarian yang dapat membatalkan keimanan kita ini.
Selain itu, sebaiknya kita jangan pernah terlibat dan sibuk pada perdebatan klaim Indonesia-Malaysia tentang tarian ini. Pembicaraan mengenai klaim kemusyrikan sama sekali tidak membawa dampak positif bagi iman kita. Lebih baik isi hari kita kepada hal yang lebih bermanfaat lagi demi masa depan tauhid umat yang kian hari kian luntur. Allahua’lam
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil.’” (al-Qashash:55). (Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)