Mengenai masalah hijab, tapi ini di Prancis. Prancis itu kan negara Sekular, dan memang telah menyatakan secara jelas bahwa urusan kenegaraan mereka benar-benar haras terpisah dengan urusan agama. Otomatis segala hal yang berhubugan dengan simbol-simbol keagamaan secara mutlak dilarang.
Lalu bagaimana dengan wanita muslim yang berhijab di sana? Apakah memang sebaiknya jangan ada umat muslim yabg datang atau tinggal di sana? Atau hijab mereka boleh disesuaikan (misalnya memakai topi yang menutup seluruh kepala, dengan baju yang memiliki kerah tinggi)? Apakah mereka termasuk ber-taqiyyah seperti di Qur’an surat Ali-Imran ayat 28?
Syukron jazakalloh untuk penjelasannya. Wassalamu’alaykum wr. wb.
Wa’alaykusalam wr.wb, jazakillah khoiron atas pertanyaannya saudari Neka. Semoga kita selalu diberikan kekuatan oleh Allah untuk menampakkan identitas keIslaman kita walau badai cobaan tidak henti-hentinya menerpa.
Perancis memang Negara yang sangat otoriter lagi kejam terhadap Umat muslim. Pada 11 April 2011, Perancis menjadi negara pertama di Eropa yang menerapkan larangan mengenakan penutup wajah penuh, termasuk cadar Aturan itu langsung diikuti oleh penangkapan hampir 60 perempuan yang menentang larangan tersebut dengan berjalan di luar Katedral Notre Dame di Paris. Perancis pun menerapkan larangan berjilbab di sekolah-sekolah umum.
Dibawah undang-undang tersebut, setiap perempuan Prancis atau warga asing, berjalan di jalan atau taman di Prancis dan menutup wajah dengan niqab (cadar yang hanya menyisakan bagian mata) atau burka yang menutup secara keseluruhan akan dihentikan oleh polisi dan didenda.
Hukuman bagi yang melanggarnya adalah denda sebesar US$217 dan kerja sosial. Sedangkan bagi orang yang dengan sengaja memaksa perempuan memakai burka untuk menutup wajahnya mendapat ancaman lebih tinggi yaitu denda yang lebih besar dan penjara hingga dua tahun.
Padahal Islam adalah agama terbesar kedua di Perancis. Namun sekalipun terjadi pelarangab jilbab, hal itu untungnya tidak mengendurkan semangat para muslimah Perancis untuk berjilbab.
Mereka tetap menjalankan keseharian berjilbab walaupun ancaman datang menghadang silih berganti. Jika memang teror terhadap wanita berjilbab sudah tidak bisa lagi dilawan dan disertai ancaman pembunuhan, tentu bisa berfikir ulang apakah harus tetap tinggal disana atau tidak. Padahal seharusnya mereka lah yang harus menyingkir, karena bumi Allah hanya pantas ditempati oleh orang-orang beriman.
Bagaimanapun Islam harus ditegakkan dimanapun bumi dipijak, itulah tantangan dakwah. Karena dakwah pasti akan mengalami benturan.
Muslimah Perancis Taqiyyah?
Selanjutnya perihal pertanyaan saudari mengenai surat Ali Imran dan hijab yang disesuaikan seperti memakai topi yang menutup seluruh kepala atau dengan baju yang memiliki kerah tinggi, akan saya kutip bunyi Surat tersebut secara lengkap,
(28) Janganlah mengambil orang-orang yang mukminin orang¬orang yang kafir jadi pemimpin lebih daripada orang-orang yang beriman. Dan barang siapa, yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu juapun. Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diriNya. Dan kepada Allahlah kembali (mu).
(29) Katakanlah: Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu, ataupun kamu nampakkannya, namun Allah mengetahuinya juga, dan Diapun mengetahui apa yang ada disemua langit dan apa yang di bumi. Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa.
(30) (Ingatlah) akan hari yang tiap-tiap orang akan menerima ganjaran amal baik yang telah tersedia. Dan amalan-amalan yang burukpun, inginlah dia (kiranya) di antara balasan amal buruknya itu dengan dirinya diantarai oleh masa yang jauh. Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan dirNya. Dan Allah amatlah sayang kepada hamba-hambanya.
Dalam melihat ayat ini, wallahua’lam apakah para muslimah di Perancis tersebut termasuk kategori taqiyyah atau tidak, karena saya sendiri bukan ahli fiqh.
Namun Ibnu Abbas r.a pernah berkata, “Taqiyyah siasat pemeliharaan diri itu bukan dengan amal tetapi taqiyyah hanya dengan ucapan”.
Jadi ingat sekali lagi, taqiyyah itu hanya dengan ucapan bukan amal nyata. Hal ini pun serupa dengan pendapat Ath Thabari bahwa taqiyyah yang sesuai dengan syari’at adalah hanya sebatas lisan saja tidak semapai kepada perbuatan atau amal (Tafsir Ath-Thabari, III/228)
Dalam menjelaskan ucapan Ibnu Abbas r.a tersebut, Sayyid Quthb dalam dalam Kitab Fii Dzhilalil Qur’an menjelaskan bahwa taqiyyah yang diperkenankan adalah taqiyyah yang bukan dalam kapasitas menjalin tali kasih sayang antara orang mukmin dan orang kafir. Karena orang kafir tidak ridha, kalau kitabullah dijadikan pemutus perkara atau pedoman dalam kehidupan secara mutlak, sebagaimana yang ditunjuki ayat ini secara implisit dan pada ayat lain secara eksplisit.
Dan taqiyyah yang diizinkan itu juga bukan dengan membantu orang kafir dengan amalan nyata dalam suatu bentuk tertentu atas nama taqiyyah. Karena tidak diperkenankan melakukan tipu daya apapun terhadap Allah. Oleh karena itu, menurut Imam Ibnu Taymiyah, “Maksud dari tuqaah bukanlah berdusta dan mengucapkan sesuatu yang tidak ada dalam hati, sebab ini adalah nifak. Akan tetapi, maksud tuqaah adalah berbuat sesuatu menurut kesanggupan.”
Sepanjang tidak ada ancaman pembunuhan, maka umat muslim seyogyanya tidak terburu-buru melaksanakan taqiyyah, karena jika kita belajar dari kasus Ammar bin Yasir, beliau terpaksa “kafir” setelah melewati penindasan yang kejam dan memang sudah dalam ancaman kematain. Setelah itu pun Ammar bin Yassir menyesali perkataannya. Oleh karena itu mesti dilihat dengan jernih apakah yang terjadi di Perancis sudah demikian genting hingga membahayakan nyawa. Wallahua’lam
“Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (QS. 16:106)