Ass…af1,Bagaimana sikap kita terhadap para pejabat DPD,DPR,DPRi,MPR,menteri yg berasal dari partai basis islam,menyikapi permasalahan dakwah islam di obok-obok pemerintah,ane su’udzon blh ga,? ane disuruh stiqo,tapi yang kita hadapi meraka ga ada suara ga ada nyali…ane jd resah py tanggung jawab di masyarakat…..begitu banyak dakwah yg sudah ana kerahkan di remaja&pemuda masjid & masyarakat…..ane jd malu klo di sindir….dan minder dlm dakwah….mhn taujih nya Pak. Jazakallah,Wass…..
Wa’alaikummusalam warahmatullahi wabarakatuh,
Pak Aris yang dirahmati Allah Swt, apa yang dialami Bapak juga banyak dialami para dai dan ustadz di banyak daerah di Indonesia. Awalnya kita melihat ada sebuah partai politik yang berjanji akan memperjuangkan Islam tegak di lembaga-lembaga negara seperti DPR, DPD, DPRi, MPR, dan sebagainya, mengaku paling suci, seolah-olah jika kita tidak memilih mereka, maka lembaga-lembaga negara tersebut akan dipenuhi orang-orang kafir yang akan merusak negeri ini dengan syiarnya yang anti ketahuidan, dakwah akan diganjal, dan sebagainya.
Dalam Pilpres kemarin, partai ini dalam kampanye juga menakuti-nakuti umat Islam dan menyatakan bahwa dakwah Islam akan terancam eksistensinya jika nomor dua tidak dipilih kembali. Maka banyak dari saudara-saudara kita, yang walau pun tahu nomor dua itu gudangnya liberalis dan antek Washington, namun karena para “tokoh umat” yang ada di dalam partai tersebut bilang begitu, maka dipilihlah mereka.
Hasilnya? Sungguh-sungguh mengecewakan. Banyak suara umat Islam memilih partai tersebut, namun entah apa alasannya, partai tersebut malah bisa-bisanya berkoalisi dengan partai kafir dalam pilpres kemarin. Amanah umat Islam yang diberikan kepada mereka ternyata dikhianati dan dijadikan alat dagang sapi, sekadar untuk jatah kursi menteri dan tentunya juga banyak proyek di belakangnya. Sebab itu, banyak masyarakat kecewa dan menyebut partai tersebut sekadar sebagai Jualan Islam, dan para tokohnya sebagai Pedagang Umat. Tidak lebih. Ayat-ayat kitab suci Qur’an dijadikan lips-service belaka.
Mereka diam ketika kelompok sesat dan menyesatkan Ahmadiyah dengan si ghulam ahmadnya masih dibiarkan eksis di negeri ini, mereka diam ketika Ustadz Habib Rizieq dipenjara tanpa sebab yang kuat, mereka diam ketika Majalah Playboy boleh beredar bebas di Indonesia, mereka diam ketika negeri mayoritas Muslim dunia ini mengirimkan puterinya—berKTP Islam pula—yang bebikini-ria di atas panggung dilihat jutaan mata kaum kafirin, mereka diam ketika pesantren-pesantren akan diawasi polisi, mereka diam ketika kotbah-khotbah Ramadhan akan diawasi, mereka diam ketika orang-orang ditangkap di Jakarta gara-gara memberi sedekah pada pengemis dan anak-anak jalanan, mereka diam ketika triliunan uang umat dikasih gratis pada Bank Century padahal uang sebanyak itu bisa jauh lebih bermanfaat untuk membangun gedung sekolah ribuan jumlahnya di negeri ini atau untuk menyantuni kaum dhuafa yang kian hari kian banyak di negeri kaya raya ini, dan banyak lagi ketidakperdulian mereka terhadap nasib umat ini. Kalau pun ada aksi, itu hanya sekadar aksi menutup malu saja. Tidak lebih.
Kelakuan mereka seperti inilah yang membuat malu umat Islam Indonesia. Terlebih orang-orang yang dulunya begitu bergairah untuk mengajak saudara-saudara Muslim lainnya untuk ikut memilih partai ini.
Sepertinya kita harus kembali lagi kepada materi pertama pengajian-pengajian di tahun 80-an, yakni panji Syahadat dan Wala Wal Barro.
Dalam dua materi awalan itu kita sama-sama tahu jika seorang Muslim itu hanya menyerahkan loyalitasnya secara penuh kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Itulah ketauhidan sejati. Sedangkan terhadap sesama manusia, apakah itu bernama Syaikh Kabir, Ustadz, Ulama ini dan itu, dan sebagainya, kita sebagai umat Islam hanya wajib mematuhinya sejauh mereka mengajak kepada ketahuidan, menyeru kepada Qur’an dan Sunnah, dan bukan menyerahkan loyalitas kita pada yang lainnya. Apalagi jika mereka menyeru untuk mendukung thagut Amerika. Harus dilawan!
Dan jika mereka katakan kita harus tsiqoh, maka ketsiqohan itu hanya ada setelah al-fahmu, kefahaman. Islam hanya mengajarkan Al-Fahmu Qabla Tsiqoh. Pahami dulu dengan baik dan benar baru kita bisa tsiqoh atau tidak. Mengikuti sesuatu yang tidak kita pahami adalah salah besar.
Kita tentu tidak bisa tsiqoh terhadap hal-hal yang sudah terang benderang salah atau tidak islami. Jika kita disuruh tsiqoh pada manusia yang menyuruh kita untuk mendukung thagut, tentu wajib kita tolak, walau mungkin orang itu jenggotnya menjulur sampai dasar samudera.
Ketsiqohan seorang Muslim hanya dberikan jika dilandasi dengan pemahaman yang baik terhadap suatu permasalahan, agar dia tidak salah jalan apakah dia benar-benar di atas rel dakwah Islam dan bukan di atas rel “dakwah politisi” yang satu syarat utama untuk menjadi politisi saat ini adalah dia harus punya kemampuan berbohong yang baik, atau minimal memutar-mutar lidahnya hingga umat menjadi bingung terhadap satu masalah. Kita bisa lihat, bagaimana seorang tokoh Islam yang tadinya kita kira punya nyali besar ternyata begitu pengecutnya dihadapan penguasa sehingga tanpa tahu malu menyatakan urusan jilbab hanya masalah secarik kain. Sudah begitu dia menyatakannya sambil tersenyum lagi. Astaghfirullah al-adziem. Na’udzubillah min dzalik. Dakwah macam apa yang hendak diberikan orang-orang seperti itu?
Apa yang kita alami hari ini hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga, betapa kita harus dan wajib kembali memegang tali agama Allah Swt ini dengan kencang dan erat. Kita harus mengkaji kembali apa itu Syahadatin, Wala wal Barro’, Al-Fahmu qabla Tsiqoh, dan sebagainya. Islam adalah agama yang mudah dimengerti, sebab itu seharusnyalah kita bisa memilah mana yang haq dan mana yang bathil, walau mungkin yang bathil itu dibungkus dengan kemasan berbahasa arab atau ayat-ayat Qur’an.
Hari ini adalah momentum yang bagus bagi kita untuk kembali ke dasar-dasar Islam yang benar. Bukan Islam yang bersumber dari mulut penguasa atau Islam yang bersumber dari mulut politisi, apalagi jika politisi itu gemar memperdagangkan umat atau hidup dengan menjual Islam. Wallahu ‘alam bishawab. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.