Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Bung Pizaro yang dirahmati Allah Ta’ala.
Saat kemarin saya sholat Jum’at di Masjid di dalam komplek salah satu instansi pemerintah, khatib menyikapi persamaan tanggal 17 Ramadhan dengan 17 Agustus. Menurut dia, kemerdekaan dari penjajah merupakan rahmat Allah Ta’ala, dan bentuk negara yang ditetapkan sama pendahulu-pendahulu negeri juga telah dirahmati Allah Ta’ala. Jadi tidak perlu lagi punya angan-angan akan berdirinya sebuah khilafah Islam, karena itu sudah tidak sesuai dengan zamannya lagi. Terlebih lagi dia menantang para jamaah untuk membuktikan adanya perintah Allah Ta’ala di dalam Al Quran yang menyuruh kita membuat sistem khilafah, yang menurut dia tidak ada satu ayatpun. Menurutnya lagi, Islam itu mengajarkan moral yang luhur, tapi tidak mengajarkan sistem perpolitikan untuk menjadi penguasa.
Saya pribadi meragukan pendapatnya, tapi saya kekurangan bahan untuk menjelaskan kepada teman saya. Mohon pencerahannya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala. Amin.
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Alaykum salam warahmatullahi wabarakatuh
Jazakallah atas pertanyaannya saudaraku Abu Noura. Semoga Allah senantiasa memberikan keilmuan yang mendalam pada diri kita agar kita bisa membedakan mana yang haqq dan yang bathil meski terlihat tidak kasat mata. Allahuma amin.
Saudaraku gagasan mengenai Khilafah Islamiyah memang menjadi perdebatan hangat dalam tubuh umat Islam. Ide mengenai Khilafah menjadi sasaran untuk digugat oleh kelompok Sekuler, Liberal, dan Pluralis. Kita masih ingat tiga tahun lalu, masih dalam suasana Iedul Fitri, ketika Metro TV menayangkan acara Today’s Dialogue bertema Konsep Khilafah VS Demokrasi.
Kala itu kelompok Liberal yang diwakili Abdul Moqsith Ghazali menyatakan bahwa penolakan Khilafah Islamiyah menjadi keniscayaan. Moqsith menyatakan bahwa Al Qur’an (juga hadis) tidak satupun menjelaskan konsep Khilafah. Pada poin berikutnya ia juga melihat bahwa Konsep Khilafah lahir sebelum munculnya ide Negara-bangsa, maka ketika sudah lahir konsep Negara bangsa saat ini, maka ide Khilafah tidak lagi menjadi relevan dan gugur dengan sendirinya.
Menanggapi ucapan Moqsith, maka Ustadz Muhammad Ismail Yusanto dari Kelompok Hizbut Tahrir Indonesia yang juga jadi pembicara kala itu langsung membantahnya. Dengan mengeluarkan dalil Surat Al Maidah 44-47, beliau mengatakan ayat ini menjadi dasar teologis penegakan Syariat Islam di dalam Al Qur’an. Ketika sang pembawa acara mengkonfrontir bahwa apakah ayat itu bisa spesifik ditujukan untuk mendirikan Negara dalam Islam, maka Ustadz Ismail Yusanto, menyatakan bahwa Syariat Islam berlaku terikat dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam memiliki negara untuk menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya dan itu hanya dapat terjadi dengan sistem yang baik, yakni sistem Islam.
Saudaraku, dialog diatas hanyalah representasi dari minimnya wawasan umat Islam di negara kita, bahwa tidak mendetailnya penyebutan konsep Khilafah dalam Al Qur’an kemudian ia menjadi gugur dengan sendirinya. Kalaulah kita mau berfikir demikian, mengapa kita masih memakai demokrasi dan pancasila sebagai sistem hidup terbaik, bukankah istilah demokrasi lebih-lebih pancasila juga tidak ada di dalam Al Qur’an?
Bahkan pemakaian Istilah Demokrasi Islam pun tidak ada di dalam Al Qur’an. Kalau kita telusuri lebih jauh yang terjadi malah sebaliknya, Allah berfirman di berbagai surat bahwa mengambil mayoritas suara sebagai sebuah kebenaran justru identik dengan kesesatan, karena kebanyakan manusia penuh dengan kelemahan.
“Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs. al An’aam:116)
“.. dan sesungguhnya kebanyakan manusia itu lengah terhadap tanda tanda kekuasan Kami” (Qs.Yunus:92)
“..dan sesungguhnya kebanyakan manusia itu benar benar fasiq” (Qs. Al Maa’idah: 49)
“ ..Sedikit sekali kalian beriman kepadanya. (Qs.Al Haaqqah:41)
“ Sedikit sekali dari hamba-Ku yang bersyukur.” (Qs.Saba’:13)
Selanjutnya penjelasan Khilafah yang tidak memiliki dasar di dalam Al Qur’an sama sekali tidak betul. Kalau kita telusuri dari berbagai kitab yang ditulis oleh para ulama, maka kita akan menemui bahwa penjelasan menganai Khilafah banyak dibahas dalam Al Qur’an. Imam Qurthubi, misalnya, ketika menafsirkan Surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi,
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Beliau menyatakan bahwa Surat Al Baqarah ayat 30 secara pokok menegaskan tentang aturan mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah.
Khilafah juga berasal kha-la-fa yang berarti kepemimpinan. Hal ini terdapat dalam makna berbagai makna. Pertama, Generasi pengganti (Al-A’raf: 169, Maryam: 59). Kedua, Suksesi generasi dan kepemimpinan (al-An’am: 165, Yunus: 14 dan 73, Fathir:39). Ketiga, Proses dan janji pemberian mandat kekuasaan dari Allah (an-Nur:55). Keempat, Pemegang mandat kekuasaan dan kewenangan dari Allah (al-Baqarah:30, Shad:26). Jadi, kata khilafah atau khalifah dalam arti kepemimpinan jelas ada dalam al-Quran.
Selanjutnya, Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisaan al-‘Arab menjelaskan bahwa kata imam juga memiliki arti tujuan atau maksud, jalan dan agama, megimami atau maju menjadi pemimpin/imam bagi mereka. Dari sini kita akan mendapatkan informasi tentang khilafah dengan menelusuri ayat-ayat yang mengandung kata imam.
Hal ini juga diamini oleh Imam Ar Razi. Dalam kitabnya, Mukhtar Ash-Shihah, ia mengatakan bahwa Khilafah atau Imamah ‘Uzhma, atau Imaratul Mukminin semuanya memberikan makna yang satu atau sama, dan menunjukkan tugas yang satu, yakni kekuasaan tertinggi bagi kaum muslimin. Ucapan Ar Razi akan sangat definitif dengan pemaknaan Khilafah Islamiyah.
Maka itu, jika penggunaan kata Imam simetris dengan khilafah, maka dari hal ini kita bisa melihat bahwa di dalam Al Qur’an kata imam terulang sebanyak tujuh kali. Dari tujuh ayat tersebut terlihat hanya ada dua yang bernada sama dan dapat dijadikan rujukan dalam persoalan khilafah, yaitu yang berkategori pemimpin dalam kebajikan. Kedua ayat tersebut terdapat pada QS. Al-Baqarah ayat 124 dan QS. Al-Furqan ayat 74.
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim”. (QS. Al Baqoroh [2]: 124)
Dan orang-orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (QS. Al Furqon [25]: 74)
Oleh karena itu saudaraku, kebenaran bisa dicapai dengan ilmu. Penguasaan suatu ilmu akan memudahkan kita menerima kebenaran Allah. Ilmu pun akan kuat jika dibarengi tauhid yang lurus pula dan jauh dari kemaksiatan. Justeru karena kita diberikan hikmah kemerdekaan oleh Allah SWT, kita harus bersyukur dengan menjalankan seluruh perintahnya, menegakkan hukum Allah, dan menjauhi hukum thaghut, bukan sebaliknya.
Sebab banyak orang yang sudah faham Khilafah dan Syariat Islam hanya karena kepentingan pribadi dan kelompoknya, maka ia pura-pura tidak mengetahuinya. Menyatakan Khilafah ide lapuk dan syariat Islam adalah masa lalu. Semoga kita dihindari dari tipikal orang-orang fasiq dan kufur seperti itu.
”Akan berlangsung nubuwwah (kenabian) di tengah-tengah kalian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya (berakhir) bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya. Kemudian berlangsung khilafah menurut manhaj kenabian selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsung para Mulkan ‘Aadhdhon (para penguasa yang menggigit) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian berlangsungkepemimpinan Mulkan Jabbriyyan (para penguasa yang memaksakan kehendak) selama kurun waktu tertentu yang Allah kehendaki lalu Dia mengangkatnya bila Dia menghendaki untuk mengakhirinya Kemudian akan berelangsung kembali khilafah menurut manhaj kenabian. Kemudian beliau berhenti”. (AHMAD – 17680). Allahua’lam (Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi)