Setelah mengucapkan kalimat itu, Pangeran Diponegoro bergegas masuk ke dalam bangunan utama Puri Tegalredjo. Seorang prajurit keluar dari masjid untuk mengambil salah satu kuda kesayangan Pangeran Diponegoro dan menambatkannya di depan masjid. Dia sendiri menjaga kuda itu.
Pada saat bersamaan, tepat di seberang Kali Winongo, limapuluh meter di selatan jembatan, seorang pengintai yang bersembunyi di balik pohon tampak memicingkan matanya di jendela intip teropong besi berukuran kecil yang diberi lensa di kedua sisinya. Dari teropongnya, dia sudah bisa melihat bagian depan pasukan Belanda yang membawa dua buah meriam ukuran sedang. Beberapa tampak menunggang kuda, sedangkan yang lain berjalan kaki. Semuanya bersenjata lengkap.
Menurut informasi yang diterima, pasukan Belanda ini berniat menangkap Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi, hidup atau mati. Namun dia dan seluruh laskar Diponegoro tidak percaya. Dengan membawa pasukan bersenjata lengkap, Belanda tidak akan sekadar menangkap Diponegoro dan Mangkubumi, namun juga akan menghancurkan laskarnya. Belanda memang menginginkan perang.
Pengintai itu meletakkan teropongnya. Dia segera memberi kode kepada pasukan pemukul yang tigapuluh meter bersembunyi di belakangnya dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi sambil menggoyangkan-goyangkan dahan pohon yang dipegangnya ke atas. Para komandan regu melihat isyarat tersebut. Mereka tahu, musuh sudah bergerak mendekati ujung wetan[1] jembatan Kali Winongo. Namun sesuai dengan perintah Pangeran Diponegoro, mereka tak diperbolehkan menyerang terlebih dahulu. Sebab itu, sambil terus bersembunyi ke rerimbunan pohon dan semak, mereka hanya menunggu apa yang akan dilakukan pasukan Belanda tersebut.
Di sisi lain, pasukan pemanah sudah mempersiapkan anak panah mereka di tali busur yang tinggal direntangkan. Pasukan pemanah bersembunyi di dua sisi yang agak tinggi, di kiri dan kanan jembatan. Mereka akan menyambut pasukan Belanda yang pasti akan melintasi jembatan Kali Winongo di depannya.
Di kejauhan, Letnan Satu Thierry memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di ujung jembatan. Pimpinan pasukan itu menyuruh tiga prajuritnya memeriksa jembatan hingga ke ujungnya. Mereka agaknya curiga, kalau-kalau jembatan sudah disabotase atau dirusak oleh Laskar Diponegoro, sehingga bisa saja ketika meriam dan pasukan melintas, jembatan itu akan ambruk ke bawah dan mereka akan jatuh tenggelam ke dalam sungai yang cukup dalam tersebut.
Baru saja ketiga prajurit Belanda itu sampai di tengah jembatan, tanpa diduga siapa pun, dari arah berlawanan tiba-tiba datang sejumlah warga desa yang memegang aneka senjata tajam. Sambil berteriak-teriak riuh-rendah, mereka mengacung-acungkan senjatanya ke arah Belanda. Beberapa di antaranya bahkan mulai menembaki pasukan itu dengan ketapelnya. Beberapa lagi menimpuki pasukan Belanda itu dengan batu-batu.
Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo tertegun. Pimpinan duaratusan laskar yang bertugas mempertahankan jembatan Kali Winongo dan sekitarnya saling berpandangan. Mereka benar-benar tidak menduga jika warga desa akan berani menyongsong pasukan Belanda yang bersenjata lengkap seperti itu.
“Uedan! Mereka kira ono pesta opo?” umpat Joyo Prawiro sambil terus merunduk di balik pohon nangka.
Joyo Mustopo mengangguk cepat, “Yo wis. Kita lihat saja bagaimana Belanda itu. Kalau mereka mulai menyerang, kita balas!”
Belum kering Joyo Mustopo berkata, tiba-tiba terdengar suara dentuman yang amat keras. Beberapa detik kemudian, dentuman serupa terdengar lagi.
“Meriam Belanda!” ujar Joyo Prawiro. Bukannya takut, orang ini malah kegirangan. Dia benar-benar menunggu momen untuk bisa berperang melawan kafir Belanda. Tak jauh beda dengan Joyo Prawiro, Joyo Mustopo juga menyeringai. Belanda telah menyerang! Itu berarti mereka sudah boleh menyerbu tentara kafir itu.
Dengan penuh semangat Joyo Mustopo berdiri, keluar dari tempat persembunyiannya. Sambil mengacungkan pedangnya, dia berteriak, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Serbuu..!!!”
Dua orang prajurit yang masing-masing membawa panji gula kelapa dan panji kuning dengan kalimah syahadah yang dibordir dengan benang emas berdiri sambil mengibar-kibarkan kedua panji tersebut ke atas. Melihat panji perang sudah berkibar tinggi, dua ratusan laskar dengan senjata aneka macam serentak keluar dari tempat persembunyiannya sambil meneriakkan takbir. Tanpa takut mereka berlari menyongsong musuh yang sebagian sudah berhasil melintasi jembatan. Pasukan berkuda Belanda yang diikuti regu senapan juga baru saja menyeberangi jembatan. Mereka terus merangsek maju dilindungi tembakan dari senapan flintclock yang larasnya diarahkan rendah setinggi pinggang. Dari seberang kali, dua meriam dengan kereta Osten Grey-nya masih tetap menembak ke arah laskar untuk membuyarkan konsentrasi barisan mereka.
Di ujung jembatan, duel jarak dekat tak bisa dihindari. Dengan bersenjatakan keris, pedang, tombak, bandil, dan apa saja yang bisa dijadikan senjata, dengan gagah berani mereka berusaha menahan laju pasukan Belanda.
Joyo Mustopo terus merangsek ke depan. Tangan kanannya begitu lincah menyabetkan pedang pendeknya ke kanan dan kiri. Sedangkan tangan kirinya menggenggam trisula yang akan melukai siapa pun yang berada di dekatnya. Dengan kecepatan yang mengagumkan, salah seorang pimpinan laskar ini berlompatan kesana-kemari menghadapi pasukan Belanda yang terus saja berusaha untuk maju.
Sedangkan Joyo Prawiro yang berada lima meter di sebelah kanannya, dengan ganas mengayun-ayunkan bandil dengan tiga bola besi berduri yang bisa meremukkan tulang tengkorak. Kedua kakinya juga lincah berlompatan menghindar dari ujung sangkur Belanda yang ditusukkan ke segala arah.
Sambil bertempur jarak dekat, Joyo Prawiro dan Joyo Mustopo melihat Legiun Mangkunegaran mulai berdatangan. Bagai air bah, prajurit-prajurit Jawa yang dikirim Mangkunegara II tersebut membantu pasukan Belanda yang sesungguhnya mulai kepayahan. Mendapat bantuan yang besar, pasukan kafir itu mulai bersemangat. Di depan mereka, pasukan kavaleri mulai melabrak barisan bagian dalam laskar yang akhirnya membuat laskar itu kocar-kacir.
Joyo Mustopo dan Joyo Prawiro tahu bahwa pasukan Belanda dan kaum murtadin itu tidak akan bisa dibendung lagi. Kekuatan tidak imbang. Mereka akhirnya memilih mundur teratur sembari melakukan perlawanan kecil. Dua serangkai tersebut kemudian berbagi tugas. Joyo Mustopo akan memberikan laporan ke puri, sedangkan Joyo Prawiro akan terus memimpin laskarnya yang masih tersisa untuk mengundurkan diri ke arah barat.
“Sampaikan salamku untuk Kanjeng Gusti Pangeran!” teriak Joyo Prawiro. Joyo Mustopo menggebrak kudanya. Dia langsung melesat meninggalkan arena pertempuran yang mengepulkan asap yang begitu pekat. [] (Bersambung)
[1] (Bahasa Jawa): Timur.