Berdasarkan masukan dari pasukan telik sandi utama inilah, Pangeran Bei bersama Pangeran Diponegoro menyusun sistem pengaman di sekitar wilayah Tegalredjo, yang terbagi ke dalam tiga lingkaran dengan radius yang berbeda. Satu lingkaran dipimpin oleh seorang senopati yang membawahi empat komandan arah mata angin, komandan Lor[1], Kulon[2], Kidul[3], dan Wetan[4]. Jadi total ada tiga senopati yang masing-masing membawahi empat komandan sesuai dengan mata angin.
Siang itu ba’da Dzuhur, dengan menunggang Kiai Gentayu, Pangeran Diponegoro melakukan inspeksi ke seluruh pasukannya. Ki Singalodra, Mangkubumi, Pangeran Bei, Ustadz Taftayani, dan tiga orang laskar menyertainya.
Tiba di tepi sebelah barat Kali Winongo yang berbatasan dengan wilayah Badran dan Pringgokusuman, Pangeran Diponegoro beserta seluruh rombongannya menemui Joyomustopo dan Joyoprawiro yang memimpin laskar setempat. Jumlah laskarnya lebih kurang ada sekitar duaratusan orang bersenjata tombak, keris, dan pedang. Beberapa di antaranya terlihat memegang senjata berupa tiga buah bola besi sebesar kepalan tangan orang dewasa yang diberi besi tajam di sana-sini, yang dihubungkan dengan rantai dan diputar-putar hingga mengenai musuh. Senjata ini disebut sebagai Bandil[5].
Setelah itu rombongan melanjutkan inspeksinya ke seluruh wilayah Tegalredjo. Inspeksi seperti ini diperlukan, selain untuk koordinasi antar pimpinan pasukan, juga untuk menaikkan semangat berjuang di kalangan laskar atau prajurit.
Menjelang kumandang adzan Asyar, Diponegoro dan rombongan sudah kembali ke dalam masjid Puri Tegalredjo. Setelah beristirahat dan sholat berjamaah, Diponegoro memanggil Mangkubumi.
“Paman, saya akan menulis surat terakhir untuk residen. Kita akan tetap pada pendirian kita semula. Tak goyah sedikit pun. Tolong sebentar lagi panggilkan Ahmad Prawiro untuk mengantarkan surat ini ke kraton.”
Setelah itu Pangeran Diponegoro masuk ke dalam biliknya. Pangeran Mangkubumi menunggu di dalam masjid. Beberapa sesepuh dan laskar masih ada yang berzikir di dalam masjid.
Seorang kurir dengan tergopoh-gopoh masuk ke dalam masjid. Menyadari Pangeran Diponegoro tengah menulis surat di dalam biliknya, kurir tersebut mendekati Pangeran Mangkubumi yang tengah duduk bersila dan segera menyampaikan berita yang menggembirakan.
“Kanjeng Pangeran, Kiai Modjo dari Surakarta menyampaikan salam pada Kanjeng Pangeran dan semua yang ada di Tegalredjo ini. Saat ini beliau, bersama anaknya, Kiai Ghazali, dan seluruh pasukan santrinya tengah menuju ke sini untuk memperkuat pertahanan…”
“Kiai Modjo dan anaknya?”
“Betul, Kanjeng Pangeran. Mereka semua sedang berjalan ke Tegalredjo ini…”
Pangeran Mangkubumi mengangguk-angguk, “Baiklah. Terima kasih atas informasinya, Kisanak. Saya akan sampaikan berita menggembirakan ini kepada Pangeran Diponegoro secepatnya.”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Saya minta diri…”
Setelah mengucapkan salam, kurir tersebut keluar dari masjid untuk mengambil air wudhu. []
Bab 23
NAFAS SUROMENGGOLO TERSENGAL-SENGAL. SALAH seorang kepercayaan Diponegoro itu kemudian lompat dari kudanya dan langsung berlari menuju masjid, di mana Pangeran Diponegoro dan para sesepuh lainnya berada.
“Assalamu’alaikum…!” ujarnya setengah berteriak. Dadanya terlihat turun naik. Nafasnya masih satu-satu. “Kanjeng Pangeran ada?” tanyanya kepada salah seorang laskar yang masih berada di masjid. Laskar itu kemudian menunjukkan ibu jarinya ke arah sudut depan masjid dimana bilik Pangeran Diponegoro berada.
“Beliau sedang menulis surat di biliknya…”
Suromenggolo mengangguk dan masuk ke dalam masjid. Begitu melihat Mangkubumi juga ada di masjid, Suromenggolo memberi salam mendekatinya.
“Salam, Kanjeng Pangeran Mangkubumi…”
“Salam juga, Kisanak. Apakah ada perkembangan baru di lapangan. Kenapa Kisanak terengah-engah begitu?”
Suromenggolo menganggukkan kepalanya cepat, “Ya. Belanda. Pasukan Belanda sudah bergerak dari alun-alun Lor menuju ke sini. Dua kilometer lagi mereka tiba di jembatan Kali Winongo!”
Mangkubumi agak terkejut. Dia kemudian berdiri, “Cepat sekali gerakan mereka. Berapa kekuatannya?”
“Dua meriam baja ukuran sedang yang ditarik dua kereta model Osten-Grey. Meriam itu masih baru. Ada juga puluhan infanteri dengan senjata laras panjang flintlock, puluhan kavaleri berkuda dengan pedang dan senjata api. Legiun Mangkunegaran juga ada di sana. Jumlahnya sekira limaratusan…”
“Mereka ingin menangkap Pangeran Diponegoro?”
“Ya. Selain Kanjeng Pangeran Diponegoro, juga beberapa pimpinan lainnya.”
“Termasuk aku?”
Suromenggolo mengangguk, “Ya, termasuk.”
Menyadari bahaya yang semakin mendekat, Mangkubumi akhirnya bergegas mengetuk pintu bilik di mana Pangeran Diponegoro sedang menulis surat. Pintu dibuka dari dalam. Pangeran Diponegoro sudah berdiri diambang pintu. Mangkubumi segera melaporkan semuanya.
“Pasukan Belanda sudah mendekati jembatan Kali Winongo!”
Diponegoro tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Jembatan Kali Winongo sangat dekat dengan Puri Tegalredjo. Namun pergerakan pasukan Belanda juga akan sedikit terhambat dengan banyaknya barikade dan jebakan yang sudah dipasang dengan cermat. Laskar yang menjaga sekitar wilayah Winongo juga akan tidak tinggal diam. Pertempuran sebentar lagi akan terjadi.
Kepada Mangkubumi, Diponegoro berkata, “Paman, sekarang para kafirin dan murtadin itu sudah di depan mata kita. Mereka menyerang kita. Tentu kita tidak akan tinggal diam. Kini bersiaplah. Kita akan sambut mereka. Kita kibarkan panji-panji gula kelapa![6] Kita kibarkan juga panji kejayaan negeri ini[7]. Allah bersama kita! Allahu Akbar!“
“Allahu Akbar! Kami semua siap, Pangeran!”
“Oh iya, Pangeran. Ada juga berita gembira. Kiai Modjo dan anaknya, Kiai Ghazali, tengah berjalan ke sini memimpin pasukannya untuk memperkuat Tegalredjo.”
“Alhamdulillah. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi kita semua, Paman…”
“Amien ya Rabb…“
Setelah mengucap salam, Mangkubumi bergegas keluar dari masjid, diikuti seluruh sesepuh dan laskar yang ada. Hanya Ki Singalodra dan tiga prajurit kawal yang tetap berdiri di samping Diponegoro. Dengan senyum tipis di bibirnya, Diponegoro menoleh kepada Ki Singalodra.
“Kisanak, pintu surga sebentar lagi akan terbuka lebar-lebar di hadapan kita. Bersiaplah untuk menyambutnya. Saya akan persiapkan isteri dan anak-anak dahulu. Tolong siapkan Kiai Gentayu. Silakan Kisanak tunggu disini…” (Bersambung)
[1] (Bahasa Jawa): Utara
[2] (Bahasa Jawa): Timur
[3] (Bahasa Jawa): Selatan
[4] (Bahasa Jawa): Barat.
[5] Senjata bandil, keris, tombak, pedang, trisula, dwisula, dan sebagainya masih tersimpan dengan baik di Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, museum yang dibangun di atas lahan bekas Puri Tegalredjo di Desa Tegalredjo, sebelah barat Stasiun Tugu, Yogyakarta.
[6] Panji Gula-Kelapa adalah panji atau bendera merah putih. Lambang pemberontakan untuk merdeka.
[7] Yang dimaksudkan dengan Panji Kejayaan adalah bendera berwarna kuning yang melambangkan tanda kebesaran . Bendera ini merupakan simbol perjuangan leluhur yang sudah berabad lamanya tidak pernah dikibarkan, sejak tahun 1292 pada masa Jayakatwang hingga Sultan Agung.