Pagi ini, usai melaksanakan sholat subuh berjamaah yang seperti biasa diikuti ceramah lima menit, Pangeran Diponegoro keluar dari masjid menuju bangunan utama Puri Tegalredjo. Ustadz Taftayani yang mendampinginya sejak tadi malam masih berdiam di dalam masjid. Sedangkan Ki Singalodra tetap mengikuti Diponegoro, namun berhenti sampai di teras depan bangunan utama.
Dari arah pendopo, Pangeran Mangkubumi berjalan mendekati Ki Singalodra yang tengah berdiri di depan bangunan utama. Setelah memberi salam, Mangkubumi menanyakan perihal pangeran kepada Ki Singalodra.
“Bagaimana keadaan Pangeran, Kisanak?”
“Alhamdulillah, baik…”
“Residen gila itu tadi malam mengutus salah seorang anak buahnya menemuiku. Dia mengancam, jika Pangeran Diponegoro tidak juga menemuinya sampai maghrib, maka Belanda akan melakukan segala cara untuk menangkapnya…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran…”
Tiba-tiba pintu puri terbuka. Seorang laki-laki dengan jubah putih dan surban hijau pupus keluar dan menyapa Mangkubumi dengan salam doa keselamatan.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Paman Mangkubumi…”
Mangkubumi menjawab salam Diponegoro kemudian memberitahukan soal utusan Residen Smissaert yang menemuinya tadi malam di dekat Puri Tegalredjo.
“Bagaimana sebaiknya, Pangeran?”
Untuk sesaat Diponegoro terdiam. Dia tahu jika kali ini Residen Smissaert rupanya benar-benar marah dan tidak mau menunggu lebih lama lagi. Sejak beberapa hari lalu dan puncaknya tadi malam, perasaannya mengatakan jika sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang sungguh-sungguh berbeda namun Diponegoro tidak tahu apa yang akan terjadi.
“Paman…,” jawabnya. “…Saya tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini atau besok. Hanya Allah yang Maha Mengetahui Segala Sesuatunya. Kita sebagai hamba-Nya hanya diperintahkan untuk bersiap jika terjadi sesuatu. Sebab itu, kita telah mempersiapkan semuanya. Dan mudah-mudahan, insya Allah, semua yang terjadi akan menjadi kebaikan bagi kita semua…”
Pangeran Mangkubumi menganggukkan kepala, “Itu benar, Pangeran. Namun apa yang akan kita kerjakan untuk menjawab ultimatum residen itu?”
“Nanti akan saya tulis surat kembali. Surat terakhir kita kepada mereka. Tentang peneguhan sikap kita. Selain itu, pagi ini juga tolong siapkan semua pasukan kita di sekitar Tegalredjo ini, Paman.”
“Baik, Pangeran.”
“Dan kau Ki Singalodra…”
Ki Singalodra yang sedari tadi terdiam mendengarkan percakapan kedua bangsawan di dekatnya itu dengan penuh hormat menjawab, “Inggih, Kanjeng Pangeran…”
“Kau hubungi lagi Senopati Joyonenggolo dan perintahkan dia untuk memperketat penjagaan. Dan satu lagi, tolong supaya Joyonenggolo memeriksa jalur penyelamatan ke Gua Selarong sekali lagi. Kita tidak tahu bagaimana nantinya, namun tidak ada salahnya untuk mempersiapkan segala sesuatunya…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Laksanakan…”
Setelah memberi salam, Ki Singalodra bergegas berjalan menuju kuda hitamnya. Dengan sekali lompat, dia sudah berada di atas pelana dan memacu kudanya menuju pos utama puri tempat Senopati Joyonenggolo berada. []
Bab 21
DANUREDJO TAHU JIKA WAKIL RESIDEN Chevaliers telah menerima surat langsung dari Residen Surakarta Mac Gillavry yang melaporkan tentang perkembangan kekuatan pasukan Diponegoro yang semakin hari semakin besar. Bukan hanya dalam soal jumlah pangeran, ulama, dan sesepuh desa yang setiap hari terus saja bertambah mendukungnya, namun juga aliran dana yang diperoleh Diponegoro yang sampai saat ini masih saja ditelusuri oleh Belanda. Pemerintah masih kesulitan untuk mencari sumber pendanaan Diponegoro yang diduga kuat sangat besar disebabkan dia bisa membeli senjata api dan tajam dalam jumlah banyak, memberi makan pasukan tiap hari yang cukup banyak, dan juga melaksanakan pelatihan demi pelatihan tempur bagi laskarnya di berbagai tempat.
Danuredjo sendiri tidak bisa memastikan hal itu. Namun dia yakin jika sejumlah pangeran, ulama, dan sesepuh yang berdiri di belakang Diponegoro-lah yang telah menyumbangkan uangnya untuk memberontak. Itu sudah dikatakannya kepada Smissaert, namun residen tersebut malah menugaskannya untuk mencari bukti yang kuat agar Belanda memiliki alasan untuk menangkapnya.
Seorang Danuredjo sesungguhnya malas mengurusi hal seperti itu, namun dia sudah keburu melaporkan kepada Smissaert sehingga mau tidak mau dia akhirnya berjanji untuk melakukan itu. Dan bukan seorang Danuredjo jika dia tidak bisa memutar otak dengan licin. Setelah ditugasi Smissaert, dia malah memanggil Ki Sentono dan menyerahkan tugas tersebut kepada orangtua itu.
Siang itu di pendopo alun-alun Lor[1] Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berbatasan sepelemparan meriam dari Benteng Vredeburg di mana Residen Yogyakarta A. H. Smissaert tinggal, Danuredjo tengah mengumpulkan semua senopati utama kraton dan juga beberapa pasukan bantuan. Di depan mereka, Patih Dalem tersebut menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro dan pasukannya yang sekarang berkumpul di sekitar Tegalredjo tengah bersiap untuk melakukan pemberontakan dengan menyerang kraton dan menghabiskan seluruh pejabat kraton beserta keluarganya.
“Pasukan Belanda akan membantu kita. Akan melindungi kraton kita. Walau mereka berbeda agama dengan kita, berbeda dengan agama Islam sebagai falsafah kraton ini, tetapi mereka akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk mendukung kita. Dengan izin Allah kita akan menang. Allahu Akbar!” ujar Danuredjo berapi-api. Baginya, semua cara harus ditempuh untuk bisa menyatukan kekuatan di belakangnya, termasuk menunggangi Islam demi kepentingan pribadinya.
Seluruh senopati yang ada di hadapannya mengangguk-anggukkan kepala. Walau tahu jika yang dikatakan Patih Dalem tersebut banyak dustanya, namun para senopati tersebut tidak mau mendebatnya. Mereka semua tahu, walau wajah Danuredjo selalu memasang senyum, namun dia sesungguhnya sangat tidak suka didebat, bahkan sekadar untuk dipertanyakan semua tindak-tanduknya. Dengan tersenyum dia bisa memerintahkan pembunuhan yang paling keji sekali pun, atau paling ringan adalah memecat mereka dan mengusir mereka beserta anak isterinya ke hutan. Siapa pun yang berada dekat dengan Danuredjo tidak ingin mengambil resiko itu. Di depan orang ini, lebih baik diam daripada berbicara.
Dengan penuh kutipan ayat-ayat suci al-Qur’an tentang Islam yang penuh rahmat bagi semesta, derajat manusia yang sama, Allah Maha Pengasih dan Penyayang, dan sebagainya, Patih Danuredjo berpidato panjang lebar menekankan perlunya pihak kraton menjalin kerjasama yang erat dengan pemerintah Belanda.
“Islam tidak melarang kita bermuamalah[2] dengan orang-orang di luar Islam. Rasulullah dahulu juga melakukan hubungan dagang dengan orang Yahudi dan bukankah Rasulullah itu sebaik-baiknya teladan bagi umat manusia? Sebab itu, bekerjasama dengan Belanda itu diperbolehkan di dalam Islam. Bukankah begitu Kiai Suranudin?”
Lelaki tua yang mengenakan jubah panjang berwarna putih dan tangan kanannya yang selalu memilin sebuah tasbih kecil dari kayu cendana, menganggukkan kepalanya, “Ya. Memang benar Kanjeng Patih…”
Danuredjo tersenyum puas, “Dan saya ingin bertanya kepada kalian semua. Apakah kita ini semuanya telah beragama Islam?”
“Inggih, Kanjeng Patih…,” sahut semuanya serempak.
“Bukankah Kanjeng Sri Susuhunan Sultan Hamengku Buwono IV juga seorang Muslim?”
“Inggih, Kanjeng Patih…”
“Nah, kita ini adalah kerajaan Islam. Kita adalah pemerintahan Islam. Semua yang ada di kraton ini adalah orang-orang Islam. Kanjeng Sultan adalah Imam kita semua. Jika Pangeran Diponegoro hendak melakukan pemberontakan kepada kraton, terhadap Sultan, berarti dia telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Islam, memberontak terhadap Imam. Bukankah itu yang di dalam fiqh Islam disebut sebagai Bughot? Bagaimana Kiai Suranudin?”
Kiai Suranudin membelai-belai janggut putihnya yang sudah hampir menyentuh dadanya, “Ya, ya, itu benar. Di dalam fiqh, kaum bughot adalah kaum atau kelompok bersenjata yang menentang penguasa kaum Muslimin, menentang Sang Imam. Sepengetahuan saya, syarat untuk bisa suatu kelompok dianggap sebagai bughot adalah: Pertama, mereka memiliki pasukan bersenjata yang akan digunakan untuk melawan Imamnya. Kedua, mereka ini memiliki pimpinan yang ditaatinya. Ketiga, mereka berbuat demikian disebabkan karena timbulnya perbedaan pendapat dengan Imamnya mengenai politik pemerintahannya, sehingga mereka beranggapan bahwa memberontak adalah suatu keharusan…”
Belum selesai Kiai Suranudin berbicara, Danuredjo langsung menyela, “Jika demikian, Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya jelas-jelas memenuhi semua persyaratan disebut sebagai kaum bughot. Bukankah demikian Kiai?”
“Ya. Mereka sudah memenuhi ketiga syarat itu,” ujar Kiai Suranudin. Dia sepertinya tidak punya pilihan lain. Danuredjo memang sangat lihai memutar lidah dan logika, sehingga dia mau tidak mau akan mengatakan apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh Patih Dalem tersebut. Kiai Suranudin pun merasa apa yang dikatakannya benar, sudah sesuai dengan kaidah fiqh, namun entah mengapa hatinya merasa tidak nyaman. (Bersambung)
[1] Bahasa Jawa: Utara.
[2] (Bahasa Arab): Berinteraksi.