Di dalam bilik utama di dalam Puri Tegalredjo, isteri Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih-puteri dari Raden Tumenggung Sumoprawiro, Bupati Jipang Kepadhangan-tengah menidurkan anak-anaknya. Lagu Lir-Ilir mengalun merdu perlahan dari bibirnya yang tipis. Dengan penuh kasih sayang, Raden Ayu Retnaningsih mengusapkan tangannya dengan lembut ke kening anak-anaknya yang baru saja terlelap. Disibakkannya rambut di kening anak-anaknya yang sudah agak panjang menutupi keningnya. Perempuan itu memandangi lekat-lekat wajah mereka. Ada rasa damai yang sangat indah di dalam relung garbanya, di saat dia memandangi wajah-wajah mungil tanpa dosa yang tengah tertidur pulas.
Namun penglihatannya tiba-tiba buram. Kedua matanya basah. Bulir-bulir air mata yang begitu bening pun luruh, merambat turun dengan pelan di kedua pipinya yang halus. Perempuan shalihah itu galau kala teringat pesan suaminya, Pangeran Diponegoro, tadi sore, jika dirinya dan anak-anak mereka harus selalu siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Belanda dan Patih Danuredjo IV sedang mengincar diri suaminya, dan bukan tidak mungkin Belanda akan mempergunakan cara apa saja untuk menangkap mereka, bahkan mungkin membunuhnya.
Sekali lagi diusapnya kening anak-anaknya. Kemudian diciumnya dengan lembut. Setelah itu dia meraih sebuah mushaf yang selalu tergeletak di ujung tempat tidurnya. Dalam keadaan masih berwudhu, perempuan itu kemudian membaca ayat demi ayat Allah dengan suara yang begitu lirih. Nyaris tak terdengar. Sepanjang malam, Raden Ayu Retnaningsih bermunajat kepada Allah subhana wa ta’ala agar diberikan ampunan, ketabahan, sekaligus kekuatan untuk menghadapi hari-hari esok yang hanya Allah yang Maha Tahu.
Secara pribadi, Retnaningsih sungguh tidak pernah takut jika harus berhadapan melawan Belanda. Perempuan yang jago memanah dan memimpin satu pasukan khusus perempuan yang menjadi bagian dari Laskar Diponegoro ini hanya iba dengan nasib anak-anaknya kelak yang harus ikut berperang. Walau tangguh dan tegar, Retnaningsih bagaimana pun seperti seorang ibu kebanyakan, yang ingin anak-anaknya tumbuh besar di dalam masa yang damai dan tenteram. Namun kenyataan berkata lain. Agaknya Allah memang memiliki rencana lain terkait semua yang harus dihadapinya.
Di luar bangunan utama Puri Tegalredjo, Pangeran Diponegoro didampingi Ustadz Taftayani, Pangeran Bei, Mangkubumi, dan Ki Singalodra, dengan penjagaan dari satu regu pasukan kawal, masih berada di dalam masjidnya. Di luar tembok puri, terdapat penjagaan satu lapis lagi di keempat penjuru mata angin. Demikian pula dengan lingkar satu, lingkar dua, dan tiga. Semua prajurit sudah siap, menanti dengan kesiagaan penuh apa yang akan terjadi.
Di tanah makam leluhur, tombak-tombak yang sengaja ditancapkan untuk menggantikan patok-patok proyek jalan, masih berdiri dengan gagahnya. Ini adalah pesan yang sangat nyata kepada kafir Belanda, jika pribumi tidak akan pernah takut untuk berjuang menegakkan keadilan, bahkan jika harus di bayar dengan nyawa sekali pun. []
Bab 20
UFUK PAGI MULAI MEREKAH MERAH. Lampu-lampu sentir dan obor di beberapa bagian Puri Tegalredjo masih menyala terang. Sebagian lagi sudah padam. Kompleks Puri Tegalredjo yang memiliki luas keseluruhan sekira dua hektar are ini tampak sepi. Namun sesungguhnya tidak demikian. Di tiap sudut bangunan, bawah pohon beringin, dan di tempat-tempat tersembunyi, selalu saja ada prajurit yang berjaga. Mereka memang tidak menampakkan penjagaan secara menyolok, sesuai dengan perintah Senopati Joyonenggolo yang bertanggungjawab terhadap keamanan seluruh area dalam puri tersebut.
Puri Tegalredjo merupakan kompleks bangunan yang berbeda dengan bangunan-bangunan lain di desa ini, bahkan jika dibandingkan dengan bangunan kediaman para pangeran yang lain. Kebanyakan bangunan masih menggunakan dinding bilik yang dilabur kapur putih dengan tulang-tulang bambu atau kayu panjang dengan atap sirap atau genteng. Berbeda dengan Puri tempat kediaman Ratu Ageng dan Pangeran Diponegoro yang sudah dibangun secara permanen, dengan batu bata dan semen. Bahkan sebuah tembok setebal setengah sampai hampir satu meter dibangun mengelilingi kompleks puri ini dengan bagian samping dan belakang lebih tinggi hingga mencapai tiga meter[1].
Sebagaimana bangunan bangsawan kraton lainnya, kompleks ini juga menghadap ke arah selatan di mana Laut Kidul menggelora. Hanya bangunan kraton yang menghadap ke arah ini, sedangkan rumah rakyat biasa akan berdiri dengan menghadap bangunan-bangunan kraton.
Gerbang besar Puri Tegalredjo diapit oleh dua pintu kecil yang selalu terbuka. Di belakang gerbang, membentang sebuah alun-alun kecil dengan luas lebih kurang empat kali luas lapangan basket. Alun-alun itu dikelilingi sawo kecik yang berjajar rapi, diseling pohon beringin di sana-sini. Sebuah pendopo besar dengan atap joglo berdiri di sisi utara alun-alun yang juga menghadap ke selatan. Di bagian belakang pendopo berdiri bangunan utama puri sebagai tempat tinggal Ratu Ageng, dan juga Diponegoro serta keluarganya. Bangunan utama ini dikelilingi bangunan-bangunan lain, seperti masjid di sebelah barat, istal kuda, gudang beras dan hasil bumi lainnya, kamar-kamar tempat menginap para tamu, juga rumah para pekerja puri ini.
Di Tegalredjo, tanah milik Pangeran Diponegoro cukup luas. Di sebelah timur dibatasi Kali Winongo yang cukup dalam dan lebar.
Sejak Pangeran Diponegoro diboyong Ratu Ageng keluar dari kraton dan menetap di Tegalredjo, wilayah ini berkembang dengan pesat. Jumlah penduduk terus bertambah. Rumah-rumah baru terus bermunculan. Dan rumah-rumah lama banyak yang diubah bentuknya. Dengan sendirinya jalur jalan raya mulai membaik dan lebih panjang.
Pangeran Diponegoro sendirilah yang mengatur pohon-pohon, jalan, dan kolam di daerah ini. Selain tumbuhan, putera Hamengku Buwono III ini juga gemar memelihara sejumlah hewan piaraan seperti burung perkutut dan juga kuda. Bisa jadi, dalam skala lebih kecil, Diponegoro tampaknya mewarisi bakat kakek buyutnya, yakni Sultan Hamengku Buwono I, yang merupakan seorang arsitek yang hebat, yang merencanakan sendiri tata ruang serta rancang bangun untuk Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan seluruh bangunan pendukungnya, termasuk Taman Sari.[2]
Tak jauh dari kompleks puri, masih di dalam areal tanah milik Diponegoro yang berada di Selohardjo, di tepi Kali Winongo, Diponegoro juga membangun sebuah panepen, yaitu tempat untuk menyendiri atau bersemadi. Gedung ini sangat indah yang dilengkapi dengan serambi depan, tempat menerima tamu, dan juga surau, kolam, dan taman. Di depan gedung ada sebuah batu datar[3] yang dinaungi pohon Kemuning yang begitu rimbun daun-daunnya. Di tempat inilah, Pangeran Diponegoro biasa duduk bertafakur di malam hari. Gedung tersebut dikelilingi kolam dan di tengah kolam dibuat semacam “pulau” kecil yang ditumbuhi sebatang pohon beringin putih. Di kolam besar yang airnya jernih itu banyak terdapat ikan dari berbagai jenis. [4] (Bersambung)
[1] Disebut juga sebagai Pager Bumi.
[2] Gambaran tentang Puri Tegalrejo ini bisa dibaca dari kesaksian Pendeta H.A. Brumund yang mengunjungi tempat tersebut selang beberapa hari setelah dibakar dan dihancurkan oleh Belanda pada bulan Juli 1825. Juga dari lukisan karya Ratmojo di tahun 1973 yang masih terpasang dengan rapi di salah satu ruangan Puri Tegalredjo yang kini menjadi Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama, Jogyakarta.
[3] Sela gilang.
[4] Babad Diponegoro VII: b.40-42.