MANGKUBUMI SUNGGUH-SUNGGUH TIDAK ENAK hati menyampaikan surat dari Residen Smissaert kepada Pangeran Diponegoro. Untunglah, keponakannya itu sangat bijaksana sehingga tidak timbul syak wasangka di antara mereka.
“Paman, katakan kepada kafir Belanda itu jika saya sama sekali tidak tertarik dengan semua yang ditawarkannya. Tidak ada jabatan dan kedudukan yang lebih tinggi dan yang lebih aku inginkan terkecuali menjadi hamba yang dicintai Allah dan Rasul-Nya. Saya hanya menginginkan itu. Saya juga ingin kafir Belanda itu segera angkat kaki dari bumi Jawa ini, dari Nusantara ini, dan biarkanlah negeri yang indah dan kaya ini kembali menjadi milik pewarisnya yang sah, yaitu kita semua. Kita sama sekali tidak memerlukan kehadiran mereka sebagai penguasa di sini…”
“Mereka tidak akan sudi melakukan itu semua…”
“Tidak mengapa, paman. Jika mereka tetap bersikeras untuk meneruskan penjajahan ini dan ingin terus menindas rakyat seperti sekarang ini, juga memerangi agama kita, maka tiada jalan lain kecuali kita harus mengusir mereka dengan pedang. Allah telah menyatakan itu di dalam kitab suci Al-Quran. Sebab itu, sejak jauh hari kita memang telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Kita sangat cinta damai, tapi jika musuh ingin berperang maka seribu pertempuran akan kita gelar!”
Kemudian Diponegoro mengutip salah satu ayat al-Quran, surat Al-Anfal ayat 60 yang berbunyi, “Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan di jalan Allah, niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya.”
Mendengar jawaban yang sangat tegas itu, Pangeran Mangkubumi seperti tersihir oleh pesona seorang Diponegoro yang begitu agung.
Seharusnya memang dia yang menjadi sultan di tanah ini!
“Jadi apa keputusanmu, Pangeran?”
“Maaf, paman. Katakan kepada kafir Belanda itu bahwa aku sama sekali tidak tertarik dengan semua tawarannya. Dan untuk undangannya menghadap residen kafir itu, ucapkan terima kasih karena telah mengundangku, namun aku tidak akan datang kepada dia sampai kapan pun. Itu saja.”
Mangkubumi sudah menduga jika keponakannya akan bersikap demikian. Dan itu sangat dihargai olehnya. Dia segera pamit untuk menyampaikan jawaban itu kepada Residen Smissaert.
“Pergilah paman. Semoga Allah subhana wa ta’ala melindungi dan mempermudah semua urusan Paman…”
“Terima kasih, Pangeran….”
Usai mengucap salam, Mangkubumi pun pergi kembali ke kraton saat itu juga. Debu-debu mengepul dari kaki kudanya yang terbang bagaikan angin. []
Bab 15
IBARAT PELURU YANG TIDAK BISA dihentikan jika sudah dimuntahkan dari laras senapan, demikian pula dengan kehidupan seseorang di masa sekarang yang sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keputusan orang itu di dalam menjalani hidup pada mulanya. Hidup, sebagaimana halnya dengan sang waktu, terus berjalan ke depan, mustahil untuk bisa dimundurkan walau barang sekejap.
Berkali-kali sanubari seorang Patih Danuredjo merasakan hal itu dan sedikit banyak menyesalinya. Namun berkali-kali pula, Danuredjo menyangkal suara hatinya sendiri dengan mengatakan jika sesuatu itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Manusia hanya menjalani takdir yang sudah digariskan. Danuredjo selalu merasa gelisah. Namun semua itu dengan kuat berusaha ditutupinya dengan senyum dan sikapnya yang sulit ditebak.
Siang itu, usai kesekian kalinya melepaskan hasrat pada perempuan muda yang seakan tiada pernah terpuaskan, Patih Danuredjo tampak termangu sendirian duduk di belakang meja kerjanya. Tidak tampak Residen Smissaert yang sepertinya bersungguh-sungguh meneruskan istirahatnya. Dan Danuredjo bersyukur atas hal itu.
Sudah hampir satu jam lamanya dia duduk di atas kursi di ruangan utama kepatihan, namun Ki Sentono belum juga menampakkan batang hidungnya. Kemarin pagi, Danuredjo memang memerintahkan salah satu orang kepercayaannya itu untuk meminta konfirmasi dari pihak Mangkunegaran soal kesiapannya membantu pihak Belanda dan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, jika terjadi sesuatu yang buruk terkait dengan pembangkangan Pangeran Diponegoro. Namun sampai sekarang orang itu belum muncul-muncul juga untuk memberikan laporannya.
Tahun lalu ketika berkunjung ke Kraton Mangkunegaran, Danuredjo mendapat janji bahwa Legiun Mangkunegaran akan membantu pemerintah Belanda dan juga kraton jika diperangi musuh atau pun pemberontak. Danuredjo tadinya merasa aman posisinya dengan dibentuknya Dewan Perwalian dimana Diponegoro mau bergabung. Namun ketika tahun 1822 Pangeran Diponegoro mengundurkan diri dari Dewan Perwalian dan memilih berjuang di luar struktur pemerintahan sama sekali, dengan membawa serta Mangkubumi, maka Patih Danuredjo baru merasa cemas. Ini berarti pemerintah tidak bisa lagi mengendalikan sepak terjang Diponegoro. Sosok yang satu ini telah semakin sukar untuk diawasi. Apalagi di kemudian hari, banyak ulama, pangeran, kepala daerah, dan sejumlah jagoan atau jawara bergabung dengannya. Mereka sama-sama ingin mengusir Belanda dari Tanah Jawa dan itu berarti ‘celaka tiga belas’ bagi Patih Danuredjo.
Ketukan pintu tiga kali terdengar cukup keras membuyarkan lamunan Danuredjo.
“Ya, masuk!”
Seorang prajurit jaga membuka pintu, “Maaf Kanjeng Patih Dalem, Ki Sentono sudah ada di aula depan…”
“Bawa saja ke sini sekarang juga!”
“Inggih, Kanjeng Patih… Laksanakan!”
Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki yang berjalan dengan cepat di atas lantai kraton. Ketukan kembali terdengar di pintu ruangan.
“Masuk saja!”
Seorang lelaki tua bertubuh pendek gempal dan berpakaian serba putih, dengan janggut dan kumis yang juga sudah mulai memutih, masuk ke dalam ruangan kerja kepatihan dan membungkukkan badannya menghormat Patih Danuredjo.
“Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh, Kanjeng Patih Dalem…”
Danuredjo berdiri dan menyambut orangtua itu, “Wa’alaikumusalam Ki Sentono. Mari duduk di sini dan bagaimana kabar dari teman-teman?”
Ki Sentono duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Danuredjo. Dengan senyum mengembang, lelaki tua yang jidatnya menghitam seperti bekas sujud itu mulai melaporkan hasil kerjanya.
“Maafkan saya jika terlambat melapor kepada Tuan. Saya berhasil mendapatkan konfirmasi dari Kraton Mangkunegaran jika Legiun mereka-termasuk pasukan khusus Jayeng Sekar jika diperlukan-sudah sangat siap untuk bergerak merapat ke kita. Demikian juga dengan Panembahan Sumenep Madura, Sultan Madura, Mayor Raja Sulaiman dari Buton, Laskar Suku Alifuru-Tidore, dan Laskar Ternate. Beberapa pangeran, kepala desa, dan yang lainnya juga sudah siap untuk membantu pemerintah. Termasuk sejumlah korps pasukan yang berada langsung di bawah para Bupati.”
“Apakah semuanya pasti akan membantu kita, Ki Sentono? Kisanak bisa menjamin hal itu?”
“Diri saya menjadi jaminannya, Tuan Patih. Bahkan Kanjeng Mangkunegara II sudah menyatakan siap dipanggil kapan pun ke Yogyakarta jika diperlukan. Dari yang lainnya, pasukan dari Mangkunegaran memang yang terdekat dengan kita. Mereka akan tiba di Yogya dalam waktu yang tidak lama…”
“Ya. Kisanak benar…”
Danuredjo menghembuskan nafasnya lega. Dia tahu jika saat ini Belanda sedang dalam keadaan lemah secara militer. Sebagian pasukan regulernya masih dalam penugasan ekspedisi militer ke Celebes[1] dan Borneo. Satu-satunya harapan hanyalah bantuan dari pasukan reguler Belanda yang ada di Surakarta dan Semarang yang berada di bawah pimpinan Kolonel Von Jett. Perwira ini adalah komandan kesatuan militer terbesar kedua di Jawa yang bermarkas di Semarang. Namun itu pun jumlahnya masih dianggap kurang oleh Danuredjo. Sebab itu, ketika mendengar jaminan dari Ki Sentono, Patih Danuredjo sangat bersuka cita. Wajahnya yang tadinya tegang kini sudah bisa tersenyum kembali. (Bersambung)
[1] Celebes adalah nama lain dari Sulawesi.