IKATAN TALI KEKANG KUDA YANG dikendarai Pangeran Mangkubumi agak mengendur. Paman Diponegoro itu melambatkan kecepatan kudanya dan berhenti terlebih dahulu di bawah batang kekar Delonix Regia[1] yang berdaun lebat dengan bunga-bunga merah yang bermekaran di sana-sini. Tak sampai semenit dia sudah mengencangkan ikatan itu. Dengan sekali gebrak, kudanya pun kembali melesat.
Usai melewati Kali Winongo di daerah Pringgokusuman, Mangkubumi melambatkan lari kudanya. Sejauh mata memandang, hamparan sawah dan kebun terlihat begitu indah. Tapi bukan itu yang membuat dia menurunkan kecepatan kudanya. Di berbagai mulut gang dan jalan desa, para lelaki dewasa, bahkan banyak yang masih remaja belasan tahun, tampak berkerumun lengkap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang membawa golok, keris, pisau panjang, clurit, tombak atau bambu yang yang diruncingkan ujungnya, trisula, dan lain sebagainya.
“Ada apa ini?” tanya Mangkubumi di dalam hati.
Ketika mereka melihat siapa yang sedang berada di atas kuda, semuanya membungkukkan badan dengan takzim. Pangeran Mangkubumi menyapa mereka dengan hangat dan menghampiri salah satu dari mereka.
“Ada apa Kisanak bergerombol seperti ini lengkap dengan senjata?” tanyanya sambil tetap berada di atas pelana kuda.
Salah seorang bapak yang menyelipkan keris di pinggangnya menjawab, “Beribu ampun Kanjeng Pangeran. Kami ingin membela Kanjeng Pangeran Diponegoro. Kami dengar Belanda akan menangkap beliau…”
Pangeran Mangkubumi tersenyum, “Siapa yang mengabarkan berita itu kepada kalian?”
“Demang[2], Kanjeng Pangeran…”
Mangkubumi kembali mengangguk-anggukan kepalanya, “Ya, Demang kalian benar…”
Lalu sebelum memacu kudanya kembali dia berpesan pada semuanya, “Saudara-saudaraku, tanah makam leluhur memang telah dipatoki Belanda dan Patih Danuredjo tadi malam. Pangeran Diponegoro sekarang memang tengah bersiap jika nanti terjadi hal-hal yang buruk. Pesan saya, tetaplah bersiaga. Sampai ada perintah selanjutnya…”
“Inggih, Kanjeng Pangeran. Kami siap…,” sahut mereka serempak sembari mengacungkan berbagai senjata yang mereka miliki. Mangkubumi menganggukkan kepalanya kembali.
“Allah bersama kita! Allahu Akbar!” teriaknya.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!!” teriak orang-orang di bawahnya dengan bergemuruh.
“Saya sekarang akan menemui Pangeran Diponegoro. Tunggu perkembangan selanjutnya!”
Mangkubumi kembali memacu kudanya menuju Desa Tegalredjo yang sudah terlihat di kejauhan. Semakin mendekati Tegalredjo, semakin banyak rakyat yang berkumpul di pinggir jalan dan juga di bukit-bukit lengkap dengan senjatanya. Bahkan beberapa di antaranya sudah menunggang kuda. Perasaan haru meliputi Mangkubumi. Rakyat Yogya memang sungguh-sungguh mencintai Pangeran Diponegoro dengan perjuangannya. Bagi rakyat Yogyakarta, Diponegoro bukan lagi seorang pangeran, namun sudah menjadi sultan yang sesungguhnya. Kenyataan ini menjadikan semangat di dalam dada seorang Mangkubumi untuk berjuang di sisi keponakannya semakin besar.
“Aku akan berdiri di sisinya!” bathin Mangkubumi mantap. []
Bab 13
LANGIT SIANG BEGITU CERAH. ANGKASA terlihat biru. Di beberapa bagian ke arah utara, awan tipis seputih kapas tampak berarak bagai gelombang prajurit berjubah putih yang berbaris menyongsong ke medan laga. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan raut wajah Patih Danuredjo siang itu. Usai Pangeran Mangkubumi pergi ke Tegalredjo, membawa perintah Smissaert untuk membawa Pangeran Diponegoro ke kraton, Residen Yogyakarta malah memarahi dirinya. Padahal dia sudah dengan segenap tenaga melayaninya.
Pasalnya kabar pasukan bantuan dari Mangkunegaran belum juga ada kepastiannya. Demikian pula yang dari Sumenep dan Tidore. Padahal dari sejumlah telik sandi Belanda yang ditanam di dalam barisan Diponegoro diperoleh informasi, jika beberapa hari lalu Diponegoro telah memberikan sejumlah uang yang tidak diketahui asal sumber dananya, kepada dua orang kepercayaannya untuk dibelikan sejumlah senjata api.
Smissaert tahu, pasukan inti dari Diponegoro tidak bisa dianggap remeh. Diponegoro memiliki jaringan yang sangat kuat tidak saja di wilayah Yogyakarta, tapi juga meluas jauh melebihi garis pantai Pulau Jawa. Para pendukungnya terutama dari kalangan ulama dan pondok pesantren. Belum lagi pasukan perempuannya yang dilatih sendiri oleh Ratu Ageng. Kebanyakan dari laskar perempuannya adalah para desertir dari Bregada Langen Kesuma, yang sangat mahir dalam olah kanuragan dan juga penggunaan senjata. Semua itu ditambah dengan pasukan telik sandinya yang cukup hebat dan dapat dukungan dari akar rumput, yakni rakyat Yogyakarta dan sekitarnya.
Sebab itu, ketika belum ada jawaban pasti dari berbagai pasukan lokal yang diharapkan bisa membantu Belanda, Smissaert sangat gusar. Semua kegeraman itu ditumpahkannya pada Patih Danuredjo yang dianggapnya hanya bisa menjilat namun tidak berusaha maksimal.
“Patih, kowe sekarang sudah hidup enak. Kowe sudah menjadi sultan yang sesungguhnya dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Kowe bisa dengan mudah menipu Sultan Menol yang masih lima tahun itu. Kowe punya banyak rumah, tanah, hewan ternak, dan lainnya. Perempuan mana saja yang kowe mau pasti dapat, dari yang masih gadis sampai janda kembang, dari yang masih bau kencur sampai yang sudah seperti mangga masak. Tapi kowe masih saja bekerja setengah-setengah membantu kita. Apa semuanya mau kita cabut lagi, hah!”
Dengan menyembah-nyembah tanpa memperdulikan harga diri, Patih Danuredjo memohon-mohon kepada Smissaert agar Residen Yogya itu bersabar sedikit. “Sabar, Tuan. Saya sudah berusaha sebaik-baiknya. Mereka pasti datang. Tunggulah sampai sore, pasti ada berita baik buat kita…”
“Kowe menyuruh saya sabar. Enak saja. Sekarang begini saja, kalau sampai sore tidak ada kabar beritanya, maka kowe jangan harap bisa hidup dengan enak lagi…”
“Aduuuh… Janganlah sekejam itu, Tuan. Pasti, Tuan. Pasti akan ada beritanya. Mereka pasti datang…”
“Sudahlah! Cepat kowe atur itu orang-orang agar kowe bisa selamat!”
“Baik. Baik, Tuan. Saya akan atur semuanya.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Smissaert beranjak dari kursinya dan berjalan keluar ruangan menuju kamar tidur. Dia agaknya masih mengantuk setelah semalaman hingga dini hari berpesta pora. Patih Danuredjo sendiri keluar dari ruangan kerjanya dan memerintahkan agar prajurit jaga memanggil Ki Sentono, salah seorang kepercayaannya.
“Cari dia cepat! Suruh dia selekasnya menghadapku!” ujar Danuredjo.
Suryo Widhuro, sang prajurit jaga ruangan kepatihan siang itu, segera berlari. Danuredjo kembali ke ruangannya dan mencoba untuk menenangkan diri. Hatinya benar-benar panas mendapat omelan dari Smissaert. Dia mengutuk Belanda itu. Namun hanya itu yang bisa dilakukannya. Hidupnya sepenuhnya tergantung pada orang itu. Segala kenikmatan dan kelezatan hidupnya diperoleh berkat pengabdiannya kepada Belanda.
Duduk seorang diri di ruangan kerjanya membuat Danuredjo tidak kerasan. Dia lalu berdiri dan membuka pintu samping yang langsung menuju kamar tidurnya. Dengan perlahan tangannya memegang gagang kunci dan mendorong pintu itu kedalam. Dari pintu yang terbuka, Danuredjo bisa mengintip seorang perempuan muda masih berkemul di atas pembaringan. Kedua matanya masih tertutup. Pundaknya yang putih mulus tersingkap. Juga betisnya. Pemandangan itu membuat darah Danuredjo naik sampai ke ubun-ubun. Kelelakiannya serasa terbakar kembali. Dengan cepat dan hati-hati dia segera mengunci pintu kamar. Lalu bagai seekor serigala kelaparan, dia langsung melompat ke tempat tidur. Perempuan itu terbangun. Dia malah tersenyum ketika melihat Danuredjo yang datang.
RESIDEN YOGYAKARTA A.H. Smissaert tidak langsung menuju kamar tidurnya. Wakil Residen Chevallier mencegatnya beberapa tombak dari pintu kamar tidur residen tersebut.
“Tuan memanggilku?” tanya Chevallier. Letnan Satu Kavaleri peraih medali kehormatan Ridder M.W.O dalam Palagan Waterloo[3] ini memberikan military salute[4] dengan sikap tubuh tegak sempurna. Residen Smissaert hanya menganggukkan kepalanya.
“Ya. Pagi ini juga kau siapkan pasukan kita di Yogyakarta. Cek juga bantuan dari Magelang dan Semarang. Bila perlu hubungi langsung Kolonel Von Jett yang ada di sana. Kita akan segera menangkap Diponegoro. Pemberontak itu sekarang sudah punya pasukan bersenjata, kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan…”
Di dalam hatinya Chevallier tertawa. Dia sudah tahu semua perkembangan terkini dari Residen Surakarta Mac Gillavry. Namun wajahnya tetap menunjukkan sikap profesionalnya sebagai Wakil Residen.
“Siap, laksanakan!” [] (Bersambung)
[1] Nama latin untuk tumbuhan Bunga Flamboyan.
[2] Semacam kepala desa.
[3] Palagan atau Pertempuran Waterloo terjadi pada tahun…… antara pasukan Prancis di bawah komando Jenderal Napoleon Bonaperte melawan
[4] Military Salute adalah pemberian hormat secara militer dengan tangan kanan diangkat setinggi pelipis atau di atas mata kanan. Hampir seluruh pasukan di dunia modern sekarang masih menggunakan cara penghormatan seperti ini.