“Ummi nggak setuju kamu menikah dengannya, Aina! Masih banyak laki-laki yang lebih baik darinya,” ucap Ummi menahan amarahnya agar tidak meledak-ledak. Abi duduk seraya menarik nafas panjang sementara Aina hanya duduk di atas sofa dengan kepala tertunduk. Pikirannya tidak karuan melayang ke sana kemari tidak jelas, tapi sesekali wajah laki-laki yang teduh itu terlintas dalam benaknya.
“Ummi, kita nggak berhak menentukan hal semacam ini. Semua harus dikembalikan lagi kepada Aina. Kelak, dia yang akan merasakan dan menjalani semuanya,” jawab Abi lembut
“Abi, apa Abi nggak ingat bagaimana kejadian dulu yang mempermalukan keluarga kita?”
“Ummi, memang seperti itu cara yang benar. Siti Khadijah istri Rasulullah SAW pun melakukan hal yang sama seperti kita…”
“Tapi zamannya sudah beda, Abi…”
Debat opini itu terus berlangsung sementara Aina tetap diam dalam duduk. Aina sangat mafhum dengan sikap Ummi yang seperti ini. Betapa Ummi tersayangnya merasa dipermalukan dan direndahkan meskipun tidak seharusnya Umminya merasa seperti itu.
Hal ini berawal ketika usia Aina menginjak 23. Ummi ingin Aina segera menikah, takut jadi perawan tua katanya. Namun, saat itu Aina tidak memiliki calon suami impian karena sedari dulu Aina menyimpan hati pada seorang ikhwan bernama Fariz yang persis tinggal satu lingkungan dengannya. Hubungan Fariz dengan Aina pun cukup dekat. Ia berusia dua tahun lebih tua daripada Aina. Fariz bekerja sebagai seorang guru berstatus pegawai tetap serta memiliki usaha sampingan, seperti warung internet, toko obat-obatan herbal sehingga masalah masa depan tak perlu dipersoalkan. Sementara itu, Aina juga bekerja sebagai seorang guru bahasa asing di sebuah Madrasah Aliyah yang tidak jauh dari rumahnya. Aina tidak mungkin menyatakan perasaan kepadanya hingga akhirnya Aina memberitahu kedua orang tuanya perihal perasaannya terhadap Fariz. Kebetulan saat itu pun Aina mendengar berita bahwa Fariz juga sedang dalam pencarian menemukan pendamping hidup.
Akhirnya tanpa aba-aba lagi, Ummi dan Abi mendatangi keluarga Fariz yang memang tetangga akrab dengan keluarga Aina. Tadinya Ummi sempat merasa keberatan dengan cara yang tidak lazim ini karena kebiasaan yang umum adalah seorang pria melamar seorang wanita, tapi Ummi melihat hal ini seperti wanita melamar laki-laki. Namun, demi kebahagiaan putrid satu-satunya Ummi pun bersedia mengesampingkan tradisi itu. Setelah berbasa-basi, Abi pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Fariz dan keluarganya. Namun, sayang-disayang, permintaan Abi ditolak oleh Fariz dengan alasan masih dalam tahap pencarian hingga menemukan yang benar-benar cocok meskipun orang tua Fariz menyetujui jika Aina yang kelak menjadi istri Fariz. Fariz dengan sangat mantap menjawab tidak bisa tanpa ada pertimbangan apapun. Aina mengira Fariz akan meminta waktu untuk melakukan istikharah terlebih dahulu, tapi keyataan yang terjadi tidaklah demikian, Fariz memberikan penolakan secara tegas. Kala itu Aina pun merasa sedih, tapi ia menyadari bahwa mungkin Fariz memang bukan jodohnya. Semua ia kembalikan pada Allah, yang jelas ia telah berusaha semampunya untuk menemukan jodohnya. Berusaha semampunya untuk menyimpan perasaan cintanya selama bertahun-tahun dan berusaha sekuat tenaga agar ia mampu menerima penolakan Fariz.
Oleh karena itu Ummi sangat kecewa pada Fariz, tapi disembunyikannya perasaan itu di dalam hati. Ummi bersyukur karena hal ini tidak menjadi perbincangan warga sekitar karena beberapa orang melihat hal ini sebagai hal yang memalukan sehingga patut dijadikan bahan diskusi mengisi waktu kosong para ibu-ibu rumah tangga yang mulutnya usil. Hal-hal seperti itu yang ada di dalam pikiran Ummi sedangkan Aina merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika dirinya ditolak meskipun tidak dipungkiri hatinya merasakan kesedihan yang teramat sangat. Sesungguhnya kesedihan yang ia rasakan bukanlah menjadi perbincangan orang banyak melainkan harus mendapati cinta yang bertepuk sebelah tangan. Perempuan mana yang tidak merasa sedih bercampur kecewa jika berada dalam posisi Aina. Namun, Aina menyadari bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah kuasa Ilahi dimana ia harus ikhlas serta yakin akan hal-hal yang lebih baik lagi daripada semua ini.
Malang tak dapat ditolak, sebuah kecelakaan menimpa Fariz yang mengharuskan amputasi pada kedua kakinya setelah dua bulan pasca penolakan Aina. Padahal sebulan lagi Fariz akan menikahi seorang wanita yang sangat cantik serta berasal dari keluarga berada. Karena kejadian itu, keluarga wanita memutuskan untuk membatalkan pernikahan. Mereka tak ingin memiliki seorang menantu cacat serta menanggung rasa malu akibat batalnya pernikahan. Sebulan berselang, keluarga Fariz datang untuk mengkhitbah Aina agar mau menikah dengan Fariz. Ummi merasa dilecehkan. Aina merasa senang sekaligus sedih karena orang yang dicintainya ingin menikahinya meskipun dalam saat kondisi fisik tak lagi sempurna. Ia merasa iba atas musibah yang menimpa Fariz, sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah lumpuh harus batal menikah juga. Sesungguhnya manusia berencana namun Dialah yang Maha Kuasa atas segalanya. Terkadang Aina bingung perasaan seperti apa yang harus ia miliki, apakah ia harus bahagia karena laki-laki yang dicintainya sejak lama ingin menikahinya ataukan ia harus merasa sedih karena merasa seperti pemulung yang mandapatkan barang sisa karena ketidaksempurnaan fisik FAriz. Saat sehat, Fariz menolak permintaan keluarga Aina yang juga permintaan Aina tanpa pemikiran secara matang terlebih dahulu. Sekarang, ketika dirinya telah cacat, malah ingin menikahi Aina. Benarkah ini sebuah penghinaan terhadap dirinya? Pikir Aina. Namun, Buru-buru Aina menepis pikiran seperti itu karena tidak seharusnya ia berburuk sangka terhadap seseorang yang berniat baik padanya. Apalah artinya cacat fisik jika hati serta iman tetap terjaga dengan baik. Mata Aina yang indah berwarna coklat seperti namanya itu pun meneteskan air mata jikala ia mengingat-ingat semua kejadian itu.
Desir angin malam menyentuh telapak tangannya saat Aina duduk sendirian di kursi depan rumah, Aina pun merapatkan sweater tebal yang membalut tubuhnya. Pikirannya menerawang memikirkan perasaannya sendiri sambil sesekali wajah pujaan hatinya terlintas. Jam menunjukkan pukul delapan malam. Tiba-tiba Ummi duduk di sebelah Aina. Aina tersenyum.
“Belum tidur, anakku?” sapa ummi
“Aina nggak bisa tidur, Ummi…” jawab Aina lembut
“Ummi tahu apa yang ada di pikiran kamu, Aina. Kamu terus memikirkan lamaran yang diajukan keluarga Faris bukan?!”
Aina terhenyak. Ummi memang selalu mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya seperti semua tertulis dengan jelas di keningnya sehingga Ummi bisa membacanya.
“Maaf, Ummi. Aina tidak bermaksud untuk tidak mematuhi Ummi, tapi Ummi tahu sendiri bagaimana perasaan Aina terhadap Kak Fariz…”
“Fariz lumpuh, Aina. Apa yang bisa kamu harapkan dari dia?”
“Ummi, apakah orang lumpuh tidak berhak menikah? Apakah ia tidak berhak hidup bahagia? Biarpun lumpuh, Kak Faris tetap manusia. Aina tidak melihat kondisi fisiknya sekalipun Kak Fariz lumpuh atau buta. Aina mencintai kak Fariz, Ummi. Karena Allah, bukan memandang fisik atau materi belaka.”
“Apakah kamu tidak merasa bahwa Fariz telah menginjak-injak kehormatan dan harga diri kamu beserta keluarga kita? Ketika ia sehat, Fariz tidak mau menerima kamu, tapi di kala dia sakit seperti ini, dia malah ingin menikahi kamu. Semua wanita yang pernah meminta untuk dinikahi oleh Fariz sudah didatangi oleh orang tua Fariz, tapi mereka tak mau menerima. Beberapa ada yang sudah menikah, yang lain menolak karena tidak terima dengan sikap Fariz yang seperti itu.”
“Karena mereka tidak mencintai Kak Fariz seperti Aina mencintainya, Ummi. Kak Fariz seperti itu karena ia ingin menemukan yang terbaik untuk dijadikan istrinya. Aina tidak pernah marah dengan keputusannya, meskipun Aina kecewa.”
Ummi tahu tak mungkin memadamkan perasaan Aina begitu saja. Ia tahu betul siapa dan seperti apa Aina dalam mempertahankan keinginannnya, apalagi ini menyangkut masa depan hidup Aina, jadi Aina tidak mungkin main-main. Sepertinya keinginan Aina tidak dapat diajak kompromi lagi, tapi dirinya berniat untuk terus membujuk Aina agar memilih laki-laki lain selain Fariz.
“Anakku, kamu itu masih muda, cantik, pintar. Kamu bisa mendapatkan yang lebih baik daripada Fariz. Sungguh Ummi sangat kecewa dengan sikap Fariz yang lalu itu. Kamu tahu sudah berapa banyak laki-laki yang ingin meminangmu, beberapa di antaranya masih menunggu dirimu, Aina.”
“Jika Ummi berpikir mereka lebih baik daripada Kak Fariz karena mereka memiliki fisik yang lebih sempurna, Ummi salah. Aina sudah bilang, bukan fisik atau materi yang Aina cari, tapi hati dan imannya. Ummi, Aina bukan ingin mendurhakai Ummi, tapi Aina pinta sedikit pengertian dari Ummi. Kak Fariz dapat menjadi jalan Aina ke surga, Mi…”
Wanita paruh baya itu pun terdiam merenungi setiap kata yang terucap dari anak perempuan satu-satunya itu. Sebagai orang tua yang baik, ia berhak menentukan jodoh anaknya, tapi sebagai orang tua bijaksana, ia tak mungkin merebut kebahagian buah hatinya hanya karena alasan kekurangan Fariz. Namun, dia sangat menginginkan Aina agar dapat hidup bahagia di kehidupan rumah tangganya, bukan hidup susah. Aina hanya terdiam, dirinya merasa sangat berdosa karena tidak mampu memenuhi keinginan ibunda tercinta. Lalu setetes butiran bening jatuh di pipi, ia pun buru-buru menyeka dengan jilbab merah marunnya. Maafkan Aina, Ummi, ucapnya dalam hati.
“Aina, sekarang sudah larut. Lebih baik masuk ke dalam, nanti masuk angin karena hawa di luar tidak cukup baik untuk kesehatan,” kata umi dengan nada suara lembut sekali seraya tersenyum tipis. Aina pun menuruti kata-kata Ummi untuk yang satu ini.
Enam bulan telah berlalu setelah permintaan Fariz dan keluarga untuk menikahi Aina. Keinginan Aina sebagai wanita normal untuk berumah tangga semakin besar, tapi ia tak mampu mengalihkan hatinya kepada orang lain selain Fariz. Entah kenapa ia selalu yakin bahwa Fariz adalah orang yang tepat untuk jadi pendamping hidupnya serta Fariz adalah jalannya menuju ke surga Allah. Setiap malam Aina bersimpuh di hadapan Rabbnya seraya menangis memohon agar pintu hati ibunda tercinta terbuka merestui Aina dengan Fariz. Aina pun selalu meminta petunjuk agar pilihannya tidak salah mempertahankan Fariz untuk menjadi suaminya.
Ya Rabb, Engkaulah yang mampu membolak-balikan hati hamba. Sesungguhnya cinta yang hamba rasakan berasal dari-Mu, karena-Mu dan untuk-Mu. Jangan Kau biarkan cinta ini tumbuh karena nafsuku, biarkan cinta ini memenuhi relung jiwaku atas nama-Mu. Jika Fariz memang Engkau takdirkan untukku, maka bukakanlah pintu hati umi untuk menerimanya dengan segala kekurangannya. Jika Fariz memang bukan untukku, maka hapuskanlah rasa cinta ini untuknya. Cinta suci ini adalah anugrah-Mu yang tak seharusnya membawa derita dalam kehidupan manusia melainkan bahagia. Duhai Engkau yang Maha Mencintai, aku rela kehilangan cinta yang lain asal jangan cinta-Mu. Biarlah cinta ini hanya bermuara pada-Mu.
Aina tak pernah bosan memanjatkan doa-doa di setiap sujud malamnya. Ia yakin Allah akan mendengar pinta dan asanya di sepertiga malam di mana Ia turun ke bumi mencari hamba-hamba yang memohon kepada-Nya.
Esok paginya Aina terkejut melihat kesibukan Ummi yang tidak seperti biasanya. Ummi dan Abi baru pulang dari pasar ketika Aina mau berangkat ke Madrasah tempatnya mengajar. Biasanya Ummi belanja di tukang sayur yang biasa lewat depan rumah, tapi hari ini belanjaan Ummi banyak sekali. Mulai dari makanan ringan sampai lauk-pauk untuk makan. Seperti mau pesta saja, pikir Aina. Aina mencium tangan Ummi dan Abinya sementara mbak Rahma membawa belanjaan ke dapur.
“Mau berangkat, anakku?” Tanya Abi.
“Iya bi. Ngomong-ngomong, ada acara pa Mi, Bi? Kok belanjaannya banyak sekali? Seperti mau pesta saja,” selorohku.
“Iya, memang akan ada pesta,” kata Ummi lalu berjalan cepat menuju ke dapur.
Sementara itu Abi senyam-senyum sendirian sebagai luapan kebahagiaan yang tiada terkira. Aina hanya mengernyitkan dahi karena bingung. Ia pun segera melangkahkan kaki meninggalkan rumah untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang guru bahasa Inggris di sebuah Madrasah Aliyah.
Jam menunjukkan pukul empat sore, Aina baru saja menunaikan shalat Ashar sementara orang tuanya benar-benar terlihat sibuk. Aina turun ke bawah mencoba membantu mereka. Tapi Ummi melarangnya dan meminta Aina untuk kembali ke kamar. Sebuah gamis indah berwarna putih lembut menyambutnya beserta sebuah jilbab dengan warna yang sama. Aina menjadi tambah bingung.
“Apa ini Mi? Ummi ingin Aina memakainya?” Tanya Aina bingung.
“Ya, pakailah gamis ini nak. Ummi ingin kamu terlihat cantik malam ini. Setelah shalat Magrib acaranya akan segera diselenggarakan,” jelas Ummi.
“Acara apa Mi?”
“Kamu akan tahu. Ini akan menjadi saat yang tak kan kamu lupakan. Sekarang kamu mandi sampai sangat bersih ya, anakku…”
“Ummi! Sebenarnya ada apa? Aina jadi sangat penasaran dengan maksud Ummi. Apa Ummi berniat menjodohkan Aina dengan laki-laki lain Mi?”
Ummi hanya tersenyum simpul dan langsung meninggalkan kamar Aina. pikiran Aina bergejolak, semua perasaan bercampur aduk jadi satu. Antara bingung, marah, sedih, dan takut. Rasanya Aina tidak ingin melakukan semua permintaan Umminya ini, jika memang benar ia akan dijodohkan dengan laki-laki lain, sungguh bukan itu yang dia inginkan. Hanya tangisan yang mampu ia lakukan karena wajah Fariz terus menghantuinya. Aina istighfar berkali-kali dalam hatinya mencoba menerima keputusan ini yang memang mungkin Allah telah memberikan yang terbaik untuknya meskipun bukan Fariz. Aina memandangi dirinya dalam balutan gamis serta jilbab putih di depan cermin, wajahnya tetap bersih meski tak ada sedikitpun bedak yang menempel. Pikirannya campur aduk. Ia terus berdoa dan meyakinkan dirinya bahwa segala sesuatu itu telah diatur olehNya yang Maha Menghendaki. Meskipun belum pasti tapi Aina yakin bahwa acara malam mini adalah acara perjodohan antara dirinya dengan seseorang yang belum diketahuinya.
Setelah shalat Magrib Aina membaca Al-Qur’an dengan suara lirih yang selalu menjadi kegiatan rutinnya. Kali ini yang dibacanya adalah Ar-Rahman, dengan khidmat ia pun membaca artinya.
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Sambil terus mengucapkan syukur kepada Allah untuk apapun yang akan terjadi malam ini. Tiba-tiba Umminya muncul dibalik pintu lalu tersenyum kepada Aina.
“Anak Ummi cantik sekali dengan pakaian ini…”
Aina hanya tersenyum membalas pujian Ummi yang dicintainya itu. Ia tak ingin menyakiti dan mengecewakan Umminya hanya demi kebahagiannya sendiri. Ia yakin Umminya pun telah memilihkan yang terbaik untuknya. Aina bisa melihat pancaran kebahagiaan di mata Ummi dan ia tak berkeinginan untuk meredupkan sinar kebahagiaan itu.
“Kenapa kamu nggak turun-turun, nak?” Tanya Ummi “Tamu undangan sudah banyak yang hadir, semua sudah menunggu kamu…”
“Sebenarnya ini acara apa Mi?” Tanya Aina penasaran.
“Masya Allah, masa kamu lupa? Sekarang itu kan tanggal 8 Februari, ulang tahun kamu sayang. Ummi dan Abi hanya mengadakan syukuran sederhana saja kok.”
“Subhanallah, Aina nggak ingat ulang tahun Aina sendiri Mi, mungkin karena terlalu sibuk dengan pekerjaan,” jawab Aina dengan sedikit rasa perasaan lega di hatinya
“Kalo begitu, cepat segera turun ya sayang. Ummi dan Abi juga sudah menyiapkan sesuatu yang istimewa untuk kamu…”
“Tapi Ummi, apa Aina tidak terlalu tua untuk diberikan perayaan ulang tahun seperti ini? Ummi tahu sendiri Aina tidak terlalu menyukai perayaan ulang tahun.”
“Kali ini akan beda, sayangku. Cepat turun ya, Ummi tunggu di bawah.”
Lalu Ummi berlalu pergi dari kamar Aina. Aina bersuyukur kepadaNya karena ini bukan acara perjodohan. Aina merapihkan gamis serta jilbabnya sambil tersenyum di depan cermin dengan rasa syukur atas semua pemberian-Nya. “Alhamdulillah ya Rabb!” ucapnya lirih.
Tanpa ragu, Aina menuruni tangga lalu berjalan menuju ke ruang tamu. Rumahnya begitu ramai. Ia begitu senang karena seluruh keluarganya datang, mulai dari kakek dan neneknya, paman-paman dan bibi-bibinya, sepupu-sepupunya dan beberapa sahabat dekatnya. Namun, ia juga melihat banyak wajah yang tak dikenalnya. Mungkin teman-teman orang tuanya, pikir Aina. Dirinya tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan mengadakann syukuran seperti ini. Tiba-tiba Abi berbicara dengan nada formal di hadapan seluruh keluarga dan kerabat, matanya berkaca-kaca. Abi mengucapkan salam pembukaan dan dilanjutkan dengan memberitahukan tujuan syukuran malam ini.
“Kami berudua sangat bersyukur kepada Allah karena telah dianugrahi seorang anak perempuan yang cantik serta sholehah. Aina begitu mematuhi perintah kami dan tak ingin mengecewakan kami sedikitpun. Kami sangat mencintai dan menyayangi anak kami sehingga apapun akan kami lakukan agar dirinya bahagia. Di usianya yang sudah menginjak 24 tahun ini, kami ingin mengadakan syukuran kecil-kecilan sebagai tanda terima kasih kami untuk kehadiran Aina di kehidupan kami. Selain itu ada sebuah kejutan indah yang ingin kami sampaikan, khususnya untuk putri tersayang kami, Aina.”
Aina tidak berhenti menatap Abinya dengan mata berkaca-kaca. Ia pun tambah penasaran akan kejutan yang dibicarakan Abinya.
“Ini soal masa depan kamu Aina, semoga kamu menerima keputusan ini dengan ikhlas dan menjalaninya sepenuh hati kamu. Faris, lamaran nak Faris atas nama anak kami, kami terima tapi seluruh keputusan kami serahkan kepada Aina.”
Aina terperanjat mendengar nama Faris disebut-sebut oleh Abinya. Jantungnya berdetak begitu cepat. Aina menolehkan wajahnya ke belakang dan melihat laki-laki yang dicintainya dengan kursi roda yang didudukinya. Fariz tersenyum, senyum penuh kebahagiaan serta penyesalan terbesar dalam hidupnya karena pernah menolak Aina untuk menjadi istrinya tanpa berpikir jauh terlebih dulu. Aina meneteskan air matanya.
Malam itu menjadi malam yang tak akan pernah terlupakan olehnya. Ia menikah dengan pria yang selalu dicintainya, pria yang namanya selalu mengisi sujud malamnya, pria yang namanya selalu mengisi dalam doanya, pria yang menjadi impiannya yaitu Fariz. Syukur teramat dalam ia panjatkan kepada Dia yang Maha Menghendaki segalanya. “Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan”. Sesungguhnya Dia hanya akan memberikan kebahagiaan serta kenikmatan kepada hamba-hambaNya yang beriman, bahkan sekalipun itu berupa hal yang menyakitkan ataupun cobaan namun akan selalu ada kenikmatan. Aina menangis haru. Pernikahan itu hanya dihadiri oleh keluarga serta kerabat terdekat dengan pesta yang sederhana persis seperti keinginan Aina. Ia tidak membutuhkan pesta besar sebagai perayaan hari paling bersejarah dalam hidupnya. Ia hanya perlu doa dari orang-orang yang menyayanginya serta seorang laki-laki yang dicintainya. Itu pun sudah menjadi hal paling mewah yang sebesar apapun jumlah uang tak kan mampu membelinya. Tak hanya Aina yang menangis penuh haru, kerabat serta keluarga pun meneteskan air mata ketika doa penuh barakah itu dipanjatkan. Ummi Aina pun tak kuasa menahan air matanya, ia kagum pada pendirian serta kesabaran anak perempuan satu-satunya itu yang dengan tulus ikhlas tetap mencintai dan menerima Fariz apa adanya meskipun Fariz pernah mengecewakannya. Mungkin hal yang sama yang ada di benak keluarga serta kerabat yang meneteskan air mata. Mereka tahu bagaimana perjalanan cinta Aina yang akhirnya berujung pada ikatan suci penuh rahmat Sang Ilahi Rabbi.
Fariz tersenyum penuh rasa syukur dan kebahagiaan menatap wajah wanita yang kini berada di hadapannya dengan status halal untuknya, wajah yang penuh dengan pancaran keimanan disertai hati yang suci penuh dengan keikhlasan. Mengapa dulu mata hatinya bisa begitu buta, tidak mampu melihat bidadari yang sesungguhnya begitu dekat. Sungguh ia merasa menyesal pernah menyia-nyiakan Aina. Mungkin kecelakaan itu adalah teguran atau bahkan mungkin hukuman dari-Nya atas ambisi duniawinya yang menginginkan semua hal sempurna, kesempurnaan yang hanya ada di matanya. Aina membalas senyum Fariz dengan senyum termanisnya, matanya indah memancarkan cahaya cinta. Tidak hanya Fariz yang merasakan kebahagiaan, Aina pun merasakan hal yang sama bahkan lebih karena sosok laki-laki yang dihadapannya kini adalah yang selalu ada di hatinya.
“Kita shalat dulu ka!” ucap Aina lembut.
“Iya, istriku. Aku masih dalam keadann wudhu,” jawab Fariz.
Sepasang pengantin baru itu pun bertakbir serta bersujud penuh syukur atas kemurahan-Nya. Keduanya memohon agar rumah tangga mereka selalu barokah.
“Maafkan aku, sayangku,” ucap Faris berbisik di telinga Aina yang kini berbaring dalam pelukannya.
“Maaf untuk apa ka?” Tanya Aina dengan menatap penuh cinta.
“Maaf karena aku pernah menyia-nyiakan ketulusanmu, maaf karena aku telah menyakiti hati sucimu. Percayalah, Allah telah menegurku dengan cara-Nya yang paling indah. Ia membukakan mata hatiku yang buta untuk melihat berlian di depan mataku, berlian dengan bola mata yang begitu indah dan pandangan yang menyejukan.”
Tanpa terasa air mata kebahagiaan menetes di pipi Aina. Faris mengusapnya dengan lembut. “Kenapa kamu menangis? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”
“Tidak, suamiku. Air mata ini menetes karena aku tak mampu menahan rasa bahagia serta rasa syukur karena akhirnya Allah mengabulkan pintaku, mengirimkan seorang pangeran bernama Muhammad al-Farisi dan membawaku ke istana yang bertaburan dengan cinta serta curahan rahmat-Nya. Terima kasih, ka karena akhirnya kamu mau menerima diriku dengan segala kekuranganku…”
“Aku yang harusnya berterima kasih karena kamu menerimaku dengan segala kekuranganku, padahal aku yakin kamu mampu mendapatkan yang jauh lebih sempurna daripada diriku. Maaf karena pernikahan ini hanya dihadiri beberapa orang. Bukan karena aku tak mampu membuat walimah ursy yang lebih besar, tapi persiapannya akan jauh lebih memakan waktu, sedangkan hati sudah tak sabar ingin memelukmu, bidadariku.”
“Pangeranku, seperti apa sempurna di matamu? Apakah sempurna itu hanya karena berjalan dengan kaki? Aku tak peduli meski kamu buta sekalipun, aku tetap mencintaimu. Selama iman serta takwa itu tetap ada dalam dirimu, maka itulah kesempurnaan. Aku tak membutuhkan pesta mewah yang dihadiri orang-orang yang mungkin aku sendiri tidak begitu mengenal mereka. Aku hanya membutuhkan doa dari orang-orang yang menyayangiku serta hadirmu di sisiku. Itu sudah dan akan menjadi hal yang tak kan aku lupakan seumur hidupku.”
Faris tersenyum. Kalimat tahmid tak henti-hentinya ia ucapkan dalam hati atas semua yang ia dapatkan saat ini. Ia tahu dan menyadari bahwa jalan berbatu masih akan membentang panjang di depan, namun ia tak kan menyerah berjuang demi istri tercintanya dan kelak untuk keluarganya. Faris mengecup kening Aina. Aina kembali merapatkan tubuhnya dalam pelukan Fariz.
Malam semakin larut namun dinginnya tak mampu menembus kehangatan pelukan para pecinta, pecinta yang mencinta karena Rabbnya, pecinta yang menjaga fitrah cinta dengan ikatan suci mengharap cinta dan ridha Rabbnya.
Ecy Herlita
[email protected]