Dimulailah kehidupan barunya sebagai “buronan” penguasa. Di Basrah, Sufyan ats-Tsauri menyamar sebagai pencari kerja. Seorang pemilik kebun merekrutnya sebagai pemetik kurma. Salah seorang pakar hadis dalam sejarah peradaban Islam itu harus merasakan getirnya hidup sebagai buruh upahan hanya untuk menghindar dari kejaran khalifah.
Bulan berganti bulan, masyarakat setempat akhirnya mengenali identitas aslinya. Alih-alih menuruti sayembara penguasa, mereka justru menaruh respek dan simpati mendalam untuk sang alim.
Sufyan ats-Tsauri tak lagi dipekerjakan sebagai buruh, tetapi diberi rumah yang layak di tengah penduduk lokal. Tak mau membuat benturan antara masyarakat sipil dan penguasa, ia pun memutuskan untuk hijrah. Kali ini, tujuannya begitu jauh: negeri Yaman.
Lebih parah dari keadaannya di Basrah, sama sekali tidak ada yang mengenalnya di Yaman. Penduduknya juga tidak ramah. Bahkan, sekali waktu Sufyan ats-Tsauri dituduh sebagai pencuri. Beberapa warga menangkap dan membawanya ke hadapan gubernur saat itu, Ma’in. Untungnya, sang gubernur merupakan sosok pemimpin yang cerdas, berwibawa, dan berakhlak mulia.
“Siapa namamu?” tanya Ma’in.
“Abdullah bin Abdurrahman,” jawab Sufyan, masih menyembunyikan identitasnya.
“Atas nama Allah, aku memintamu agar menyebut silsilah nasabmu.”
“Aku Sufyan bin Sa’id bin Masruq,” kata Sufyan dengan jujur.
“Ats-Tsauri?” tanya Ma’in penuh selidik.
“Ya.”
“Sungguh, khalifah sedang memburumu!” seru Ma’in.
“Benar.”
Gubernur Yaman itu lantas menundukkan kepalanya dan berkata, “Tuan dapat tinggal di sini dan pergi kapan saja engkau mau. Demi Allah, aku akan melindungimu sekuat kemampuan!”
Maka Sufyan ats-Tsauri pun menetap untuk beberapa bulan di negeri tersebut.