Terpisah Untuk Bertemu?

Saya terkadang heran dengan diri saya. Dahulu ketika hendak meninggalkan SD, saya berpikir kenapa saya harus berpisah dengan teman-teman yang sudah dekat di hati saya. Saya berpikir kenapa kami tidak satu kelas terus selama kami menuntut ilmu hingga ke jenjang berikutnya. Jadi ketika saya masuk SMP, ada dua perasaan yang bercampur. Pertama adalah rasa senang karena akan memulai belajar di jenjang yang lebih tinggi, dan perasaan lainnya adalah rasa sedih karena saya tidak akan bertemu teman-teman SD saya lagi. Waktu itu saya sudah beranggapan bahwa saya tidak akan menemukan teman-teman yang baik seperti yang saya jumpai pada jenjang pendidikan sebelumnya.

Anehnya, perasaan yang sama datang lagi ketika saya hendak meninggalkan SMP. Yang semula saya tidak berharap untuk mendapatkan teman-teman yang bisa membuat hati ini terkesan, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Di SMP saya bertemu dengan teman-teman terbaik, dan perasaan untuk tidak mau berpisah kembali datang. Saya pertanyakan kembali kenapa keharusan kami menuntut ilmu pada jenjang berikutnya juga mengharuskan kami untuk berpisah. Ini terus saya rasakan hingga SMA dan selesai kuliah. Entahlah, rasanya terlalu sayang untuk berpisah dengan teman-teman yang sudah sehati. Bahkan perasaan ini kembali datang ketika saya sudah di detik-detik akhir meninggalkan Jerman.

Awal saya datang ke Jerman, tidak ada terpikir oleh saya bahwa saya akan cinta tinggal di negeri ini. Tujuan saya kemari hanya belajar. Jadi, saya harus mempersiapkan diri bahwa sekalipun kelak saya tidak betah dengan suasana Jerman, maka saya harus bertahan demi studi saya. Tetapi saudaraku, perasaan itu datang tanpa dirancang. Ketika hendak meninggalkan negeri ini saya malah takut rasa senang saya yang tidak dirancang menjadi hilang. Ada rasa sedih ketika mengetahui bahwa dalam hitungan hari saya akan meninggalkan Jerman.

Ya, saya akan berpisah dengan semua saudara yang pernah saya temui, saudara dari Indonesia, saudara di kota studi saya, dan saudara yang saya jumpai di tempat tesis saya. Sungguh sedih rasanya. Perasaan sedih lainnya adalah karena bagaimana pun bumi Jerman ini juga saya pakai untuk bersujud pada-Nya. Saya memang lebih banyak merasakan kesendirian di sini, tetapi justru dalam kesendirian itulah saya merasa betul bahwa Dia lah satu-satunya teman yang setia. Dalam kesendirian itulah saya lebih leluasa menyapa-Nya. Saya malah takut apakah bila nanti saya meninggalkan bumi yang sunyi ini dan pindah ke bumi lain yang ramai, keleluasaan ini masih bisa saya miliki.
Jadwal sidang tesis saya sudah disepakati dan ditetapkan.

Saya harus mempersiapkan di mana saya akan menginap di Oldenburg nanti. Anwar sudah lama pulang ke Bangladesh. Hamadou, saudara saya dari Niger, sedang melakukan internship di benuanya. Chandra sedang di Bristol, UK, untuk training karena selepas pendidikan master ini ia bekerja di perusahaan tenaga angin. Akhirnya alternatif yang tersedia adalah Mustafa, saudara saya dari Kamerun, saat ini mahasiswa S2 bidang teknologi kedokteran. Saya pun mengontak Mustafa, dan ia katakan tempat untuk saya di Oldenburg tersedia.

Sedikit tentang Mustafa, ia adalah saudara saya yang ketika pertama kali bertemu dengannya di Oldenburg, kami bertemu di masjid, seingat saya untuk shalat maghrib. Ia katakan pada saya bahwa itu adalah kali pertama ia menemukan masjid yang dicari-carinya. Sebelumnya ia sudah tahu masjid yang dikelola saudara kami dari Turki, tetapi ia juga ingin tahu masjid yang dikelola saudara kami dari Arab. Ketika tahu saya dari Indonesia, Mustafa langsung mengucapkan beberapa kata dalam bahasa melayu yang tentu saja membuat saya kaget. Rupanya ia pernah tinggal di Brunei untuk bekerja dan belajar. Pekerjaannya di Brunei adalah pemain sepakbola. Ia juga menyelesaikan pendidikan S1-nya di negara yang hanya berpenduduk ratusan ribu jiwa itu. Pangeran Brunei adalah teman kuliahnya, dan Sultan Brunei adalah pasangannya dalam salah satu foto yang dipajang di kamarnya.

Mustafa menceritakan ketika ia menjadi pemain sepakbola, ia bisa dibilang sangat kaya. Gajinya perbulan bisa lebih dari 5000 euro, dan itu bersih. Bayangkan, uang sebanyak itu dipakai untuk hidup di negara kecil, tentu saja banyak berlebih. Ia katakan bahwa ia sampai bingung hendak dipakai apa uang yang ia punya. Jadi biasanya ia pakai uang itu untuk jalan-jalan di Asia, termasuk Indonesia. Mustafa juga menceritakan bahwa selama bekerja di Brunei sebagai pemain sepakbola, segala kebutuhannya sudah disediakan. Ia katakan rumahnya sangat besar, mobil pun tersedia untuknya.

Ketika saya tanyakan padanya kenapa ia meninggalkan semua itu padahal secara materi apa yang dimilikinya sudah sempurna, Mustafa memberikan jawaban yang intinya adalah ia ingin menuntut ilmu lagi dan dengan ilmu yang ia miliki membuatnya tidak perlu bergantung pada pekerjaannya sebagai pemain sepakbola yang ada usia emasnya. Tetapi Mustafa ini memang sosok yang cerdas. Sebelum ke Jerman ini, ia pernah kuliah di universitas tekonologi nomor satu di Singapura dalam rangka pertukaran mahasiswa, dan juga pernah kuliah di Adelaide, Australia. Ketidakcocokan dengan suasana kedua tempat itu, membuatnya mencari tempat lain untuk belajar. Lucunya, ketika saya tanyakan bagaimana Jerman, ia malah menjawab dengan kesan yang sangat negatif. Walau begitu, saya rasa ia tidak akan melakukan seperti yang sebelumnya pada studinya kali ini.

Mustafa tinggal di asrama yang sama dengan asrama Anwar. Tadinya saya berpikir bahwa saya akan menginap di kamar Mustafa, berdua dengannya. Rupanya Mustafa sudah mempersiapkan kamar lain untuk saya. Kamar itu adalah kamar temannya dari Kamerun juga yang sedang libur ke negaranya. Mustafa menyiapkan kamar ini untuk saya. Dan ketika saya dapati, kamar ini sudah rapi, apa yang saya butuhkan sudah disiapkan.

Ketika mengobrol dengan Mustafa tahulah saya bahwa masjid di Oldenburg sudah pindah. Yang menarik, ia katakan bahwa bangunan yang semula digunakan sebagai masjid oleh saudara-saudara saya dari Turki dan kemudian bangunan itu diumumkan dijual, yang membelinya malah saudara-saudara saya dari Arab, dan mereka kemudian menggunakan bangunan tersebut sebagai masjid yang dikelola oleh mereka. Saya tentu tidak menduga hal ini. Ketika terakhir bertemu dengan sang imam dari Turki, terlihat ia sedikit memberi kesan bahwa belum ada yang tertarik membeli bangunan tersebut.

Mendengar kabar dari Mustafa, saya tentu gembira karena saya sudah mengenal bangunan ini yang cukup dekat dari WG saya dahulu, dan saya tahu betul bahwa bangunan ini amat layak difungsikan sebagai masjid. Saya pun berencana keesokan harinya berkunjung ke masjid ini dan berharap bertemu saudara-saudara yang sudah lama saya tidak berjumpa dengan mereka.

Saya datang untuk shalat ashar. Bangunan yang menyerupai rumah itu tidak banyak berubah tampilan luarnya. Hanya satu yang sekarang mencolok, papan nama Maryam Moschee yang dipasang pada bagian atas muka bangunan. Ketika masuk ke dalam ruang shalat, sungguh sulit dijelaskan perasaan saya. Saya terharu karena ALLAH masih memberikan kesempatan pada saya untuk bersujud di masjid kota ini, yang sebentar lagi akan saya tinggalkan. Terlalu banyak kenangan bersama saudara-saudara seiman yang lagi-lagi membuat saya mempertanyakan kenapa harus ada perpisahan.

Di dalam, saya amat bersyukur, ternyata yang sudah datang adalah saudara-saudara yang saya banyak berinteraksi dengan mereka. Abdul Majid, sang sopir bis, langsung terkejut melihat kedatangan saya. Kami berpelukan. Ia tanyakan saya kemana saja. Sambil bercanda Abdul Majid mengatakan bahwa ia mengira saya sudah bergabung dengan pasukan mujahidin. Ia peragakan layaknya seorang mujahidin sedang menumpahkan peluru dari senjatanya, saya tentu tertawa melihat tingkahnya. Ketika dulu harus meninggalkan Oldenburg, saya hanya sempat memberitahukan hal ini pada beberapa saudara saya saja. Seingat saya Yusuf, Walid, dan Abdul Aziz, saudara saya dari Nigeria.

Saya juga bertemu Karim, dan lagi-lagi ciri khas Karim dalam menyambut seorang saudara, senyum tulus yang amat menawan. Ia juga bertanya kemana saja saya selama ini. Abdul Majid juga ikut menimpali sambil bermaksud bercanda. Abdul Qadir, saudara saya dari Aljazair juga ada di sana. Kemudian ada juga Abdul Qadir, saudara saya dari Mesir yang langsung memeluk saya dan mengatakan bahwa sudah sangat lama ia tidak melihat saya. Saya hanya katakan kami tidak bertemu selama enam bulan. Ia tanyakan alasan kepergian saya selama ini. Ada juga Mustafa yang sedang membersihkan masjid menggunakan mesin penghisap debu. Mustafa ini bukan Mustafa yang teman satu kampus dan yang menyediakan tempat inap selama saya di Oldenburg. Tetapi Mustafa ini adalah saudara saya dari Togo. Hafalan Qurannya termasuk yang paling banyak di antara para jamaah sehingga ia sering menjadi imam shalat. Berikutnya datang Abdunnur yang juga kaget melihat saya, dan lagi-lagi saya harus menjawab dengan jawaban yang hampir sama terhadap pertanyaan saudara-saudara saya sebelumnya.

Saya lalu duduk di dekat Abdul Majid dan Karim. Hud, anak Abdul Majid sudah terlihat makin besar, dan lucu. Ia terlihat penasaran dengan mesin penghisap debu yang dipakai Mustafa, hingga Mustafa pun menggoda Hud dengan memperlihatkan cara kerja mesin yang membuat Hud terlihat makin penasaran. Dari Abdul Majid, saya mengetahui bahwa nabi dari bangsa arab hanya berjumlah 4 orang, yaitu Nabi Hud, Nabi Syuaib, Nabi Saleh, dan Nabi Muhammad SAW. Ketika saya tanyakan bagaimana dengan Nabi Ismail, maka ia menjawab bahwa Nabi Ismail adalah bapak dari orang-orang Arab sehingga tidak dimasukkan ke dalam kriteria arab itu sendiri.

Abdul Majid menceritakan bahwa bangunan ini dibeli dalam waktu tiga bulan. Masjid ini sudah dipakai sejak pertengahan Januari lalu. Para jamaah mengumpulkan uang mereka masing-masing. Jamaah yang memang memiliki harta berlebih juga memberi banyak sumbangan sehingga dalam waktu singkat bangunan ini pun terbeli. Sambil tersenyum lebar, Abdul Majid mengungkapkan bahwa sekarang masjid ini milik kami. Karim pun ikut mengatakan yang sama. Pengeluaran perbulan pun bisa ditekan hanya untuk membayar Nebenkosten1, tanpa uang sewa sebagaimana bangunan masjid sebelumnya. Saya kemudian juga membalas bahwa bangunan masjid kali ini jauh lebih baik dan nyaman dari yang sebelumnya.

Ketika saya tanyakan pada Karim bahwa bukankah papan di atas pintu masuk masjid itu bertuliskan ayat Al Quran, Karim pun menjawab benar, dan mengatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan pembukaan Mekkah oleh Rasulullah SAW. Ketika saya tanyakan surat apa dan ayat berapa, Karim menjawab ALLAH Yang Maha Tahu, dan meminta saya untuk bertanya pada Mustafa saja. Setelah Abdunnur mengerjakan shalat sunnah tahyatul masjid, ia langsung menghampiri saya dan bertanya beberapa hal menyangkut ketidakberadaan saya selama ini di Oldenburg sambil tak lepas senyum dari wajahnya.

Azan pun dilantunkan. Saudara saya dari Montenegro yang melantunkan seruan kepada ALLAH ini. Selain Walid, saudara saya dari Montenegro ini mampu melantunkan azan dengan indah, seolah terdengar mereka melantunkannya dari hati yang terdalam. Setelah shalat sunnah, menunggu iqamat, saya sejenak memperhatikan saudara-saudara saya lainnya. Abdul Qadir dari Mesir masih larut dalam shalat sunnahnya. Mustafa bibirnya bergerak seperti sedang membaca hafalan Qurannya. Mustafa memang sering melakukan ini bila kami di masjid menunggu waktu shalat. Abdul Majid dan Karim juga terlihat menunduk dalam posisi duduk. Hud matanya lama tak berkedip memperhatikan jamaah yang lain sama seperti yang saya lakukan.

Sehabis shalat berjamaah, Abdul Majid langsung mendekati saya dan bertanya sampai kapan saya di Oldenburg. Saya lalu mengatakan bahwa besok saya insyaALLAH sidang tesis dan keesokannya lagi saya langsung meninggalkan Oldenburg kembali ke desa saya, karena pada hari berikutnya saya akan berangkat ke Indonesia, meninggalkan Jerman. Mendengar ini Abdul Majid terdiam sejenak sambil menggelengkan kepalanya. Ia menatap saya dan berkata kapan saya punya waktu untuk diajak makan bersama olehnya. Saya hanya menjawab bahwa rasanya tidak memungkinkan untuk saat ini, jadwal saya terlalu ketat. Ia lalu bertanya apakah saya akan kembali ke Jerman, saya pun membalas bila ALLAH menghendaki. Saya katakan bahwa saya ingin di Indonesia dulu selepas studi saya, melakukan sesuatu. Entahlah, ketika menatap Abdul Majid, saya menahan diri saya agar hati yang basah di dalam tidak sampai keluar.

Abdul Qadir dari Mesir juga menghampiri dan memeluk saya lagi. Dengan lembut ia mengulangi pertanyaan Abdul Majid, dan saya katakan bahwa kali ini saya akan pulang habis ke Indonesia. Sama seperti Abdul Majid, saya tidak mampu menatap wajah Abdul Qadir ini lama-lama. Saya tidak mau saudara saya merasakan kesedihan saya. Beberapa kali Abdul Qadir mendoakan saya dan berharap suatu saat kami bisa bertemu lagi. Di akhir kata-katanya, Abdul Qadir menitipkan salam untuk saudara-saudaranya yang ia hormati di Indonesia sebagai Umat Islam terbesar di dunia. Saudaraku, adakah yang lebih beruntung dari seseorang yang dicintai oleh saudaranya padahal saudaranya itu belum pernah sekalipun bertemu dengan dirinya? Cinta seperti apa itu bila bukan cinta kepada ALLAH yang mendasarinya. Saudaraku, dalam kesempatan ini saya sampaikan betapa saudaramu Abdul Qadir dari Mesir bersaksi di hadapan saya betapa ia mencintai saudara-saudaranya di Indonesia, dan menyampaikan salamnya untuk saudaraku semua. Terlihat kesungguhan Abdul Qadir ketika mengucapkan ini.

Abdul Qadir dari Aljazair juga seolah tidak percaya bahwa saya akan meninggalkan Jerman dalam beberapa hari lagi. Ia tanyakan lagi apakah keberangkatan saya itu sudah definitif. Karim ikut mendampingi saudaranya dari Aljazair itu di obrolan kami ketika saya hendak meninggalkan masjid. Abdul Majid kembali mengulang bahwa bila ALLAH menghendaki, pasti kami bertemu kembali. Kepada Abdunnur saya juga sampaikan hendak pamit dari Jerman, dan lagi-lagi Abdunnur menanggapi waktu yang terasa begitu cepat. Ia hanya mendoakan saya. Saya lalu berkata pada Abdunnur bahwa insyaALLAH saya akan mengingatnya karena hanya ada satu Abdunnur di masjid ini. Abdunnur sambil tersenyum malah membalas bahwa juga hanya ada satu Kahfi di masjid ini.

Keesokan harinya, hari sidang tesis saya, saya merasa begitu senang, ALLAH menakdirkan saya untuk bertemu Abdul Majid kembali. Ia adalah sopir bis yang saya tumpangi ke universitas. Saya lihat Abdul Majid dengan senyum lebarnya menyambut saya ketika saya naik ke dalam bis. Kali ini saya duduk di tempat paling dekat dari sopir dan saya mengajak sopir mengobrol selama perjalanan. Kami bercerita banyak hal. Lucunya ketika bis kami berhenti dan di sebelah kami juga berhenti bis yang disopiri oleh seorang wanita, Abdul Majid langsung melihat saya sambil mengucapkan istighfar. Lucunya ia mengucapkannya sambil tersenyum. Ia katakan fitnah. Ia lalu malah berkata pada saya bahwa apa saya tahu bahwa saya bisa menikah dengan empat orang istri. Saya yang mendengar kata-kata Abdul Majid hanya bisa tertawa dan balik bertanya apa maksud dia berkata seperti itu. Dia kembali mengulangi kata-katanya bahwa kalau saya mau, kesempatan itu terbuka bagi saya. Sambil menggoda ia katakan bawa saja seorang istri dari Jerman bila nanti pulang ke Indonesia.

Menanggapi usulnya yang aneh-aneh, saya hanya membalas bahwa saya memberikan kesempatan itu pada Abdul Majid dan mempersilahkan dirinya untuk melakukannya terlebih dahulu. Abdul Majid hanya tertawa. Setelah itu Abdul Majid malah berkata, „Kahfi, satu lebih baik.“ Saya lalu bertanya apakah di negaranya, Aljazair, poligami itu lazim. Saya membandingkan dengan cerita saudara saya Ali dari Jordan yang menceritakan kelaziman poligami di negaranya. Abdul Majid menjawab tidak, dan untuk kasus Jordan, ia beralasan jumlah wanita di sana banyak. Saya sempat berpikir memangnya dia tahu bahwa jumlah wanita di Aljazair sedikit. Abdul Majid lalu menjelaskan bahwa kebanyakan saat ini orang menambah istri lebih karena memperturutkan nafsu. Ia membandingkan dengan Rasulullah SAW yang hanya melakukan monogami selama Khadijah r.a. masih hidup. Abdul Majid juga menjelaskan siapa-siapa istri Rasulullah dan apa maksud Rasulullah SAW menikahi mereka. Menolong janda yang ditinggalkan suami di medan jihad dan mengikat hubungan kekerabatan pada kaum yang baru mengenal Islam agar lebih kokoh keislaman mereka adalah alasan yang masih saya ingat dari Abdul Majid. Ia juga katakan bahwa ada kondisi-kondisi tertentu di mana poligami cocok untuk dilakukan, yaitu sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW, dan yang lainnya adalah, bila takut fitnah terjadinya pelacuran bila jumlah wanita begitu banyak dan banyak dari mereka belum mendapatkan suami.

Tetapi lagi-lagi Abdul Majid menekankan bahwa „satu lebih baik.“ Ia tekankan betapa Al Quran menegaskan keharusan adil dan lebih baik tetap satu bila tidak mampu berlaku adil. Ia jelaskan redaksi Al Quran yang mengatakan „wa lan“ yang menunjukkan definitif, seolah ALLAH sudah tahu bahwa manusia itu tidak akan mampu berlaku adil tetapi jalan ini tetap dibuka sebagai pengkhususan bagi kasus-kasus tertentu. Cukup panjang lebar juga Abdul Majid menjelaskan masalah ini sehingga saya sempat berpikir kenapa ketika mau sidang tesis obrolannya malah tentang ini.

Di tengah perjalanan ke universitas, saya melihat Simeon sedang menunggu di suatu halte, dan ketika naik ke dalam bis, tentu saja saya langsung menyapanya dengan gembira. Simeon ini sedang tinggal di Muenster dan padahal besok paginya sudah harus berangkat ke Nigeria. Ia katakan bahwa ia datang ke Oldenburg hanya untuk bertemu saya. Ketika menanyakan jam sidang saya dan saya pun menjawabnya, maka ia katakan ia tidak bisa menghadirinya, tetapi baginya ia sudah merasa cukup karena sudah bertemu saya. Hubungan saya, Anwar, Chandra, dan Simeon memang istimewa layaknya saudara, seperti yang pernah saya ungkapkan pada tulisan pertama saya. Sesampainya kami di universitas, ketika hendak berpisah, saya mengucapkan salam kepada Abdul Majid.

Eh, Simeon malah ikut mengucapkan salam pada Abdul Majid. Abdul Majid yang heran tentu saja bertanya asal Simeon. Ketika tahu dari Nigeria, Abdul Majid mengatakan bahwa ia dari Aljazair, benua yang sama, dan ia juga tahu bahwa di Nigeria memang banyak yang muslim. Sambil tertawa saya lalu berkata pada Abdul Majid bahwa Simeon ini bukan seorang muslim tetapi dia tahu ucapan salamnya orang Islam. Bahkan suatu kali di ruang kuliah ketika sedang rehat sebentar, Simeon pernah memperagakan gerakan sujud yang tidak sempurna karena lengannya yang juga menyentuh lantai hingga menyerupai anjing yang duduk. Saya, Anwar, dan Chandra yang melihatnya saat itu tentu saja tertawa-tawa sampai saya tanyakan pada Simeon tahu darimana dia gerakan shalat itu.

Ketika hendak berpisah dengan Abdul Majid, terus terang di wajah saya mungkin masih bisa tersenyum tetapi amat berbeda dengan apa yang di hati saya, hanya kesedihan. Tetapi kesedihan itu seolah menjadi sirna ketika Abdul Majid berkata, „Kahfi, insyaALLAH kita bertemu kembali di surga.“ Tidak ada wajah dibuat-buat ketika Abdul Majid mengatakan ini. Ia mengucapkan ini dengan ringannya seolah apa yang diucapkannya adalah apa yang menjadi pemahamannya selama ini. Kami pun hampir bersamaan berkata, saya katakan „Itu adalah harapan terbaik“ dan Abdul Majid berkata „Itu adalah tempat terbaik untuk bertemu.“

Ah, seseorang yang tahu betul hakikat pertemuan di dunia pasti sedari awal sudah tahu satu hal yang pasti darinya, yaitu perpisahan. Seharusnya ketika kita mencintai makhluk di dunia ini, rasa cinta kita juga seperti rasa cemas kita karena tahu bahwa pasti kita juga akan berpisah darinya. Tetapi bila kita begitu mencintai sang makhluk, masih ada jalan untuk bertemu kembali selepas di dunia, dan ini adalah janji-Nya. Dia akan mempertemukan kembali hamba-hamba-Nya yang tidaklah mereka saling mencintai kecuali cinta itu dikarenakan Dia Yang Ahad semata.

Sungguh amat berbeda, pertemuan kali ini tidaklah seperti pertemuan di dunia. Pertemuan kali ini tidak mengenal perpisahan, melainkan keabadian. Jadi amat jelas, manakah pertemuan yang lebih pantas diharapkan dan dipersiapkan oleh seorang mukmin, pertemuan sejati dalam keabadian atau hanya pertemuan sementara yang kadang meninggalkan sedih berkepanjangan.