Senpai, Saya Ingin jadi Pilot
#Aku Tak Mau Punya Mahasiswa seperti Dia#
Saat itu adalah akhir musim gugur di tahun ketiga studi doktoralku di laboratorium beton, the University of Tokyo, Jepang. Ah saatnya berganti tempat duduk dan melelahkan, aku mengeluh dalam hati. Seluruh mahasiswa dan peneliti di laboratorium ini, tidak terkecuali yang sudah senior pun harus mau berganti posisi, tidak perduli buku dan kertasnya puluhan kilo beratnya. Semua harus dipindahkan, termasuk komputer, rak buku, alat makan serta pernak pernik isi laci, saat yang paling melelahkan tetapi harus dilaksanakan. Semua mengeluh dan cemberut, tapi apa daya.
Aturan itu dibuat agar semua mahasiswa merasakan suasana baru dan mendapat teman baru di sisi kanan, kiri, muka dan belakang. Keluhan dan protes semakin keras biasanya datang dari mahasiswa senior, karena semakin lama, buku, jurnal dan majalah mereka semakin tinggi bertumpuk di rak buku masing-masing. Aku memandangi tumpukan buku dan jurnal di rak buku dan dalam laci mejaku. Uh, aku butuh energi dan semangat lebih, aku menarik napas panjang.
Setelah Benny, seorang peneliti asal Surabaya, Okhovat, seorang mahasiswa doktor tingkat akhir asal Iran, sesuai urutan senioritas, aku dipersilahkan untuk memilih posisi. Ah, musim semi tahun depan pasti saat aku sudah sibuk menulis disertasi, alangkah bagusnya jika aku memilih tempat di sisi jendela besar yang menghadap deretan pohon sakura yang melambai saat angin musim semi bertiup.
Ya, aku sudah memutuskan, di sana saja, di belakang printer, tempat paling diburu mahasiswa dan biasanya hanya yang senior yang bisa menempatinya. Ah..iya..sudah di posisi senior aku sekarang. Betapa cepatnya waktu berlalu. Dua setengah tahun yang lalu… aku terjebak di tempat yang gaduh, karena ada tiga seniorku, mahasiswa asal Asia Selatan yang sangat gemar berdebat, pagi dan sore. Aku tidak bisa memilih dan belum mengerti tempat mana yang paling baik apalagi protes dan menyuruh mereka tutup mulut.
Posisi kami di ruangan selalu berselang seling dengan mahasiswa dari laboratorium jembatan. Karena sisi belakangku adalah jendela yang menghadap pohon-pohon cantik, maka tetanggaku hanya di samping dan di depan. Duduk di samping kiriku adalah mahasiswi S1, bernama Oh, cantik, dari lab jembatan asal China yang berwarganegara Jepang, tapi sudah tidak bisa berbahasa China. Sisi kananku juga seorang wanita muda, Kikuchi, S1, dari lab jembatan, ramah tapi sangat pendiam.
Meja di depan Oh ditempati mahasiswa S1, aku tidak tahu namanya, satu lab denganku, seorang pria muda, sedikit berjerawat dan penampilannya seperti ABG yang agak menyebalkan. Dinh, mahasiswa doktoral dari lab jembatan asal Vietnam yang duduk di depanku menunjukkan wajah tak ramah pada si pemuda ini. Karena kemudian si pemuda jarang muncul di lab, maka setelah sekian lama, aku lupa wajahnya dan akhirnya juga lupa bahwa salah satu anggota labku pernah bertempat duduk di sana.
Pagi itu adalah hari yang dingin di awal bulan November. Musim dingin datang lebih cepat daripada tahun sebelumnya, membawa kesan muram pada wajah-wajah mahasiswa yang tertekan.
"Nande?" Oh menyahut tiba-tiba.
Aku mengangkat wajahku dari jurnal di atas mejaku. Kulihat Oh menatap wajah di depannya. Aha,.. ternyata si pembolos datang, bakal berisik nih, aku mendengus. Ini hari Senin, saat rapat lab rutin dilakukan setiap minggu. Anak malas ini hanya hadir jika ada rapat. Dia pikir pembimbingnya tidak tahu jika dia setiap hari membolos, karena dia selalu berusaha hadir hanya saat rapat mingguan, saat setiap mahasiswa berhadapan wajah langsung dengan pembimbing.
Dia juga tidak tahu jika setiap saat komputer mahasiswa dalam posisi aktif, para pembimbing akan dengan sangat mudah melacak apakah si mahasiswa sedang bekerja atau tidak, bahkan dari kantornya, sang profesor bisa dengan mudah melihat apa yang sedang kita pandang di layar monitor kita, jika beliau mau.
"Nanimo nai!" Si pemuda menyahuti Oh dengan melempar pandangan mata menggoda.
"Kenapa sih, kenapa kamu melihatku dengan cara seperti itu, apa yang salah dengan wajahku?" Oh meneruskan pertanyaannya.
"Tidak sih, aku hanya ingin memandangmu saja, aku kagum dengan semangat dan keseriusanmu dalam belajar."
Sekali lagi pemuda menyahut sambil tersenyum kecil, masih menggoda, tersenyum nakal dan tidak perduli dengan tatapanku yang merasa terganggu dengan ulahnya. Anak ini tidak bisa berbicara lirih, selalu dengan intonasi tinggi, aku mengeluh.
"Huh dasar genit, kamu itu harus rajin belajar, kamu jarang masuk tapi tiba-tiba datang hanya untuk memandang wajah orang saja, sana kerja!" Oh tertawa lebar.
"Huh!" aku mendengus, tanpa sadar dan agak keras. Pemuda itu memandangku, dan aku yakin Oh sedang melirikku. Aku melemparkan tatapan mata kesal pada pemuda itu, dia membalas menatapku dengan pandangan mata bosan.
Walaupun mengerti aku merasa terganggu dengan ulahnya, tampaknya pemuda ini tidak punya kegiatan lain selain mengganggu gadis di sebelahku. Ya Allah, bisikku dalam hati, kumohon, jangan kirimkan mahasiswa seperti ini padaku di kemudian hari. Suatu doa yang nanti akan aku sesali dan aku ralat.
Semua yonensei, sebutan untuk mahasiswa S1 di tahun terakhir harus bergabung di lab bersama seniornya dan mengerjakan penelitian selama setahun, sampai mereka dinyatakan lulus. Jadi, jika mereka mulai masuk di musim semi seperti pemuda itu, Oh dan Kikuchi ini, berarti mereka harus sudah menghadapi sidang akhir di musim semi berikutnya. Semua penelitian di laboratorium beton berat dan butuh ketekunan, tapi si pembolos ini jarang masuk, sehingga aku menduga jangan-jangan dia tidak bisa lulus.
Apalagi pembimbingnya adalah ass Prof Ishida yang dikenal sangat ketat dalam menilai hasil pekerjaan mahasiswanya. Walaupun beliau bukan pembimbing utamaku, aku tahu benar gaya membimbingnya, karena separuh disertasiku berisi permintaan khusus beliau.
Beberapa kali aku melihat mahasiswa S1 yang gagal lulus karena dianggap belum layak. Standar yang ditetapkan tidak bisa diturunkan atau diubah, sehingga mahasiswalah yang harus mengikuti standar itu. Aku membandingkan lab ini dengan lab tempatku bekerja di ITS, Surabaya. Banyak hal yang perlu aku lakukan nanti jika lulus.
Brak..bruk..brak..sreek..sreek.. suara tas dibanting dan aktivitasnya dimulai di mejanya. Aku kembali menatap meja itu dengan kesal. Si pembolos saat mengetik di komputer pun memberi tekanan ujung jari lebih dari yang dibutuhkan setiap tombol. Tarikan napasnya juga sangat keras dibuat-buat seperti orang yang sudah kerja kelelahan dan terbebani. Aih, berisik, aku mendesis. Dinh yang duduk di sebelahnya seharusnya protes.
Aku melirik Dinh yang berada di depanku, dari samping monitor komputerku, raut wajahnya berkerut tak senang. Sadar bahwa aku meliriknya, Dinh mengangkat wajah melihatku dan kemudian mengangkat bahunya sebagai balasan. Tau ah gelap, kira-kira begitu aku mengartikannya. Aku yakin saat itu, doaku yang kupanjatkan sudah tepat. Jangan pernah aku memiliki mahasiswa seperti si pembolos ini.
Tidak lama kemudian aku segera melupakannya. Segala kesedihan selalu aku buang sesegera mungkin. Ini cara yang paling ampuh untuk bisa konsentrasi menyelesaikan segala urusanku di laboratorium. Sebagai seorang ibu, meninggalkan tiga orang anak dan suami selama tiga tahun di negeri orang bukanlah hal yang mudah. Karena itu, hal-hal yang menjengkelkan biasanya tidak lama bersemayam di otakku yang sudah sesak dengan urutan pekerjaan ini dan itu.
(bersambung)
catatan:
Senpai: kakak
Nande: kenapa
Nanimo nai: tidak ada apa-apa