Saya merasa beruntung karena apa yang pernah saya niatkan bahwa saya akan berusaha agar setiap kepulangan saya ke Indonesia menggunakan maskapai yang berbeda dapat juga menjadi pengalaman saya.
Yah, mungkin hanya menginjakkan kaki di airport, tetapi bagi saya melihat negara yang berbeda dan masyarakatnya adalah sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Kepulangan saya yang pertama ke tanah air adalah menggunakan pesawat Emirates, jadi transitnya di Dubai.
Dalam hal pelayanan di dalam pesawat, saya acungkan jempol, pelayanan Emirates bernilai 10 bagi saya. Tetapi ketika sampai di Dubai, saya tidak menemukan hubungan yang erat antara kemegahan bandara dengan kerapian dan kenyamanan bandara yang mempermudah urusan penumpang.
Waktu itu saya berangkat dari Hamburg. Bandara Hamburg tidaklah besar, amat berbeda dengan bandara di Dubai yang megah, bahkan ketika saya tiba di sana, mereka sedang mempersiapkan area khusus untuk pesawat superjumbo Airbus A380.
Yang berbeda adalah, di Hamburg segala informasi utama yang dibutuhkan penumpang, seperti gate keberangkatan, waktu, nomor penerbangan, disajikan sedemikian sehingga penumpang mudah menemukannya dan jelas menangkap keterangannya. Penyajiannya sederhana tetapi tepat sasaran.
Tetapi ketika tiba di Dubai, suasana yang saya rasakan adalah keramaian yang kurang tertata dan waktu itu saya tidak dapat menemukan nomor penerbangan, waktu, dan gate keberangkatan saya dari beberapa layar monitor di dekat saya, padahal saya hanya transit dan pesawat saya berikutnya hanya berjarak tiga jam.
Ketika itu langkah yang perlu saya tempuh adalah mendatangi meja informasi dan menanyakan kebutuhan saya, kemudian sang petugas pun menolong saya sambil merasa perlu untuk membubuhkan dengan tulisan tangan gate pesawat saya berikutnya pada lembar boarding pass saya.
Malah ketika pertama kali menunjukkan bahwa saya sudah memilki boarding pass untuk penerbangan berikutnya, mereka ngotot bahwa saya harus mendapatkan boarding pass lagi di bandara ini, walau akhirnya amat jelas bahwa hal itu cukup dengan apa yang sudah saya punya.
Hal lain yang membuat saya kurang terkesan dari Bandara di Dubai adalah ketika pertama kali turun dari pesawat dan melewati pemeriksaan penumpang, saya menganggap pemeriksaan oleh petugas di sana terlalu berlebihan, bahkan lebih dibanding yang saya alami di Hamburg, ketika hendak naik pesawat.
Sedih saja, negara muslim mengikuti kepanikan tak berdasar yang dimunculkan sendiri oleh mereka yang tidak mengenal Islam dan hanya lebih banyak merasa tahu dari prasangka belaka.
Kepulangan saya yang kedua ke Indonesia adalah dengan Qatar Airways, jadi berhenti sebentar di Doha. Bandara Doha sekilas tidak terlalu besar. Di dalam bandara pun tidak ramai.
Ada pemeriksaan juga ketika turun dari pesawat tetapi tidak berlebihan layaknya di Dubai. Kesan saya, saya cukup nyaman dengan suasana bandara ini sehingga pernah merencanakan jika kelak ingin pulang ke Indonesia dan ada dua tawaran, insya Allah saya akan memilih Qatar Airways ketimbang Emirates.
Kepulangan saya yang ketiga dan bisa dikatakan kepulangan habis ke Indonesia selepas studi adalah menggunakan Kuwait Airways, jadi transit di Kuwait. Bandara ini juga sekilas tidak terlihat besar, dan yang paling nyaman bagi saya adalah tidak ada pemeriksaan bagi penumpang yang turun dari pesawat.
Waktu itu saya langsung mencari gate pesawat saya berikutnya. Walau di Kuwait sama sekali tidak ada pemeriksaan penumpang, tetapi kenyamanan ini diimbangi dengan kekesalan saya atas apa yang saya alami di bandara Frankfurt, tempat keberangkatan saya dari Jerman. Pemeriksaan sebelum masuk ke ruang tunggu boarding sudah saya lewati dan tidak ada masalah.
Tetapi ketika sedang menunggu untuk boarding, waktu itu saya sedang mengobrol dengan beberapa calon penumpang dari Indonesia, saya terkena pemeriksaan acak oleh polisi, dan yang membuat hati saya agak mendidih adalah mereka melakukannya seolah tidak menghormati penumpang sekaligus tamu mereka yang sedang bepergian.
Apa tidak cukup pemeriksaan sebelumnya yang telah dilakukan. Seluruh isi tas saya mereka buka dan periksa, satu-satu. Benar saudaraku, para polisi ini dengan entengnya menggeledah tas saya sambil berbasa-basi di awal bolehkah dia mengacak-acak tas saya karena tugas mereka. Amplop-amplop di dalam tas saya yang sudah terbuka mereka keluarkan isinya dan dibaca.
Amplop yang masih disegel sempat mereka coba untuk dibuka walau akhirnya hanya merasa-rasa kertas amplop itu dengan tangan mereka. Siapa yang tidak geram bila sampai hal yang bersifat pribadi ini tidak dihormati oleh petugas yang sebenarnya tugas mereka adalah melindungi hak milik pribadi orang lain.
Alasan tugas untuk mencegah kejadian yang tidak diinginkan? Ah, omong kosong, semua itu tidak lebih dari tugas tanpa pengetahuan selain prasangka. Mereka hanya memeriksa penumpang berwarna kulit di luar mereka. Sehabis saya pun yang terkena pemeriksaan acak juga adalah seorang pemuda berwajah Arab.
Tetapi yang paling membuat saya geram ketika mereka memeriksa tas saya adalah ketika mereka membuka mushaf saya dan membuka lembaran-lembarannya seolah mencari sesuatu darinya. Waktu itu dengan keras saya berkata pada polisi yang masih muda itu, "Kamu tahu apa itu!“, ia hanya menunggu saya meneruskan kata-kata saya. Saya pun melanjutkan, "Itu adalah Al Quran, kitab suci orang Islam!“. Sambil tersenyum-senyum ia hanya berkata bahwa ia baru pertama kali melihatnya.
Ketika memasukkan kembali barang-barang saya yang dikeluarkannya, maka mushaf saya ini menjadi satu-satunya benda yang dia tanyakan pada saya apakah dia sudah menempatkannya dengan benar atau tidak di dalam tas saya.
Maaf, atas kejadian ini, dan bila ini masih dilanjutkan oleh Bandara Frankfurt, maka bagi saya mereka adalah bandara terburuk selama saya berangkat dari Jerman, dan polisi yang bertugas melakukan pemeriksaan acak adalah polisi terburuk yang pernah saya jumpai di Jerman.
Bagi saya buruk bukan dalam hal tampilan dan perilaku, tetapi ketika mereka bertugas tanpa membekali diri mereka dengan referensi yang cukup untuk tugas mereka sehingga merasa cukup untuk melaksanakan perintah berdasarkan kesepakatan atas suatu prasangka.
Ketika naik pesawat di Kuwait, saya berada bersama cukup banyak tenaga kerja wanita Indonesia. Saya tahu tentu sebelumnya tidak bertanya pada mereka, tetapi dari melihat sekilas rasanya saya sulit menemukan profesi lain dari saudara-saudara saya ini selain TKW itulah adanya.
Ada juga beberapa tenaga kerja pria tetapi mereka tidak sebanyak yang wanita. Saya pun mencari kursi saya di dalam pesawat. Ketika saya menemukan nomor kursi yang saya cari, ternyata tempat tersebut sudah ditempati oleh seorang ibu-ibu yang agak tua, dari Indonesia, dan saya tebak ia juga adalah TKW, seperti teman-temannya yang duduk di sebelahnya.
Saya lihat kembali boarding pass saya dan setelah yakin bahwa memang itulah tempat saya, maka saya tanyakan pada ibu tersebut berapa nomor tempat duduknya. Ibu tersebut hanya menjawab bahwa ia duduk di situ karena pramugari yang memberitahunya.
Saya pun memberi isyarat tangan pada pramugari terdekat, dan memintanya melihat tempat duduk kami. Pramugari itu lalu melihat boarding pass saya dan meminta boarding pass dari sang ibu. Ibu tersebut lalu mengambil boarding pass dari dalam tasnya dan memberikannya pada pramugari tersebut. Setelah dicek, ternyata ibu tersebut seharusnya duduk pada kursi pada ujung yang lain dari deretan empat kursi di tengah yang diapit oleh masing-masing deretan dua kursi.
Tetapi pramugari tersebut kemudian hanya menyuruh teman-teman sang ibu untuk bergeser saja hingga kursi di ujung lain itu terisi dan tempat untuk saya menjadi kosong. Setelah ibu tersebut pindah satu kursi ke sebelah, sambil tersenyum saya hanya berkata mengenai tempat duduk ibu tersebut yang tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Ibu tersebut pun kemudian membalas senyuman saya.
Ketika saya hendak duduk dan menaruh tas di kursi saya, seorang bapak-bapak yang terlihat agak tua bagi saya kemudian bertanya pada saya apakah ibu yang duduk di sebelah saya adalah istri saya. Saya tentu bingung dengan pertanyaan bapak ini, apa ia tidak melihat penampilan fisik yang cukup berbeda menyatakan usia antara saya dan sang ibu di sebelah saya. Saya sudah melihat bapak ini ketika kami antri untuk boarding.
Ia bersama dua orang wanita berhijab dan mengenakan pakaian melayu khas Malaysia. Ketika melihat dua wanita tersebut, bagi saya yang satu adalah anaknya karena terlihat muda dan yang lainnya saya bingung antara istrinya atau ibunya, karena terlihat tua tetapi sepertinya tidaklah terlalu tua dibanding sang bapak.
Saya pun kemudian malah menjawab, "Bapak dari Malaysia ya?“ Pesawat kami waktu itu juga akan transit di Kuala Lumpur. Mendengar jawabannya yang mengiyakan, saya pun melanjutkan bahwa ibu yang duduk di sebelah saya ini bukan istri saya dan kenapa ia menanyakan hal ini pada saya.
Rupanya ia duduk di belakang kursi saya bersama seorang wanita muda yang bersamanya, dan wanita lain yang lebih tua duduk tidak didekatnya, tetapi dalam baris yang sama dengan kursi kami hanya saja di deretan dua kursi yang menjauhi kami. Ia berkata bahwa kalau boleh saya mengizinkannya untuk menukar kursi saya ini dengan kursi yang ditempati oleh wanita tua tersebut karena di sebelahnya ditempati seorang pria.
Saya pun menjawab tidak masalah sambil tersenyum kepada bapak tersebut yang kemudian juga membalas bahwa kami ini serumpun dan layaklah tolong-menolong. Saya sendiri juga sebenarnya merasa kurang nyaman duduk dengan di sebelah saya seorang wanita, jadi saya pun setuju dengan idenya.
Lalu saya hanya berujar pada bapak tersebut, "Itu istri Bapak ya?“ kata saya sambil mengisyaratkan wanita tua yang berada di seberang deretan kursi kami yang hendak pindah ke kursi saya. Dengan wajah yang terlihat bingung bapak tersebut menjawab, "Bukan, itu ibu saya, dan ini istri saya.“
Akhirnya pertanyaan saya terjawab bahwa wanita yang semula saya duga adalah anaknya ternyata istrinya, dan yang lebih tua rupanya adalah ibunya. Sambil memberi saran mengenai bagaimana kami saling berpindah tempat, saya pun sambil tertawa berkata, "Oh ibu Bapak, saya kira istri Bapak.
Habis tadi Bapak juga mengira ibu yang di sebelah saya ini sebagai istri saya.“ Dapat saya dengar Bapak tersebut tertawa sambil mengucapkan terima kasih dan kedua wanita tersebut juga tersenyum agak lebar mendengar penuturan saya.
Ketika melihat ibu tua dari Malaysia itu yang hendak pindah ke kursi saya, saya pun juga melihat sosok pria yang sudah duduk di sebelahnya, terlihat masih muda dan berwajah Arab, dan ia tersenyum pada saya.
Maka ketika saya sudah duduk di sebelahnya, dan setelah memastikan tas saya ditempatkan dengan benar di bawah kursi depan saya, maka mengingat tadi saya belum mengucapkan salam padanya, maka saya pun menyapanya dengan salam.
Setelah membalas ucapan salam saya ia kemudian berkata, "Apakah itu nenek kamu?“ Ia mengucapkannya dalam bahasa Inggris. Entah kenapa pada hari ini saya banyak bergelut dengan kesalahpahaman, sehingga kali ini pun harus bingung juga mendapati ada yang mengira bahwa saya cucu dari seorang wanita tua setelah sebelumnya ada yang menanyakan apakah saya suami dari seorang wanita tua. Maka saya hanya katakan padanya, "No, they are our brothers from Malaysia.“ Pemuda ini kemudian malah bertanya asal saya.
Namanya Liyth, berumur 37 tahun. Ketika mendengar namanya yang terdengar asing, saya tanyakan apakah itu nama arab, maka ia menjawab ya. Saya pun memintanya untuk mengeja satu-satu huruf dari namanya hingga ia menjawab sebagaimana yang saya tulis di sini.
Saya tanyakan artinya dan ia menjawab bahwa Liyth berarti a young lion who starts fighting. Ia juga berkata bahwa Liyth juga adalah nama salah seorang sahabat Rasulullah SAW, saya sendiri tidak tahu mengenai hal ini. Mendengar artinya tentu saya tersenyum karena amat menarik lalu mengatakan padanya berarti dia adalah sebagaimana namanya.
Liyth hanya tersenyum dan balik menanyakan nama saya. Setelah saya menjawab, "Kahfi“, ia langsung berkata "Oh..cave man.“ Saya pun tersenyum sambil agak bingung juga ia langsung menangkap nama saya dengan benar, tidak seperti saudara-saudara saya dari arab lainnya bila berkenalan dengan saya.
Liyth ini berasal dari Jordan. Ia menyelesaikan pendidikan masternya di Malaysia dan sempat bekerja beberapa tahun untuk mengumpulkan uang guna PhD-nya di Malaysia sekarang. Risetnya adalah pada masalah microwave propagation.
Ia sedang membuat model yang menjelaskan terjadinya pelemahan sinyal ketika dipancarkan dengan tujuan untuk mencapai tempat-tempat terpencil. Tentu saja riset PhD-nya ini menarik dan amat dekat kemanfaatannya di lapangan. Liyth pun lalu berujar bahwa topik risetnya ini sulit dan rumit.
Tetapi mendengar penjelasannya yang bersemangat dan rinci, saya hanya berkata, "No problem for you because you like math and physics.“ Ia hanya tersenyum sambil terlihat mengiyakan komentar saya. Ia agak kaget juga mengetahui saya sudah menikah dan punya anak. Ketika saya tanyakan umurnya dan ia menjawab selisih yang cukup jauh, maka saya pun melanjutkan bertanya kenapa ia belum menikah. Alasannya adalah mahalnya biaya nikah di Jordan untuk seorang pria. Maksudnya mahal di sini adalah mahalnya mahar yang diminta dari sang pria.
Saya lalu mengomentari masalah di Jordan dengan masalah serupa di Arab Saudi yang pernah saya baca, malah ketika itu ada ajakan dari para pemuda di negeri tersebut untuk membiarkan wanita-wanita Saudi menjadi perawan tua dengan menikahi wanita-wanita negeri lain yang tidak menuntut mahar yang bagi mereka amat berlebihan.
Saya lalu berkata pada Liyth bahwa bukankah pernikahan itu mudah dalam Islam, kenapa lalu dibuat memberatkan. Liyth lalu hanya menjawab, "Kami, bangsa Arab adalah yang mula-mula menjalankan Islam, tetapi saat ini kami adalah yang paling ketinggalan dalam menjalankan Islam.“
Ia lalu menjelaskan bahwa mereka masih terikat dengan tribal thinking, pemikiran kesukuan, dan mahalnya mahar untuk menikah adalah bagian dari cara menjaga kehormatan suku-suku. Saya lalu bertanya, "Walaupun dia seorang wanita muslim yang baik?“ Liyth hanya menjawab, "Ya, walaupun dia seorang wanita muslim yang baik, sulit baginya melepaskan diri dari tribal thinking ini. Malah, jika seorang wanita itu meminta mahar yang tidak mahal, justru sikapnya itu akan dipertanyakan.“
Ia pun melanjutkan dengan itulah penyebabnya tidak sedikit orang-orang Arab yang kemudian menikah dengan wanita muslim eropa, asia, dan termasuk Indonesia. Saya pun lalu sambil sedikit tertawa berkomentar kenapa dia tidak juga mencobanya. Saya memberi saran agar dia mencari istri yang seorang muslimah Indonesia saja. Liyth hanya tersenyum sambil berkata bahwa bisa saja hal itu terjadi.
Setiap mengobrol dengan saudara dari Arab, saya tertarik untuk mengetahui lebih banyak mengenai bangsa ini. Sebenarnya ada rasa penasaran saya yang melatarbelakanginya, yaitu kenapa sampai saat ini bangsa Arab ini tidak juga bersatu. Saya pernah membaca sejarahnya dan sudah dijelaskan alasannya, tetapi entahlah, saya merasa sebenarnya alasan yang dikemukakan itu tidak perlu menjadi alasan bila mengingat mereka adalah muslim.
Saya bertanya pada Liyth apakah dia percaya bahwa persatuan Umat Islam akan dimulai dari persatuan Arab. Liyth dengan tegas menjawab bahwa dia tidak percaya hal itu. Dia katakan bahwa saat ini bangsa Arab kalah dari saudara mereka di Indonesia, negara asia lainnya, dan saudara mereka di Afrika.
Bagi saya, maksudnya kalah di sini adalah dalam hal jumlah. Ia lanjutkan bahwa Islam itu tidak bergantung pada Arab. Ia mengutip kata-kata Sahabat Umar bin Khattab r.a. yang mengatakan bahwa Islam memang kehadirannya dibantu oleh bangsa Arab, tetapi bangsa Arab juga menjadi kuat karena Islam.
Ia lalu berkomentar bahwa bila ada persatuan Umat Islam, maka baginya kelak itu akan dirintis dari selain bangsa Arab. Tercenung juga saya mendengar penuturan Liyth. Bila ini dikatakan oleh bangsa Arab sendiri, saya hanya berpikir, bila memang itulah adanya, saya hanya sedang membayangkan di mana peran saudara-saudara Liyth dari Indonesia dalam persatuan Umat Islam ini.
Cerita Yang Masih Belum Selesai
Saudaraku, cerita ini biarlah tetap menjadi cerita yang belum selesai. Bukanlah hak saya untuk menyelesaikannya. Biarlah suatu saat ketetapan-Nya sendiri yang mengharuskan cerita ini menjadi selesai.
Saudaraku, bukankah hidup kita masing-masing juga adalah cerita dan suatu saat cerita kita pun akan selesai juga. Marilah kita baca kembali cerita kita masing-masing. Sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk membuat tulisan ini.
Tetapi alangkah herannya saya ketika hanya cerita sepotong perjalanan menjadi berlembar-lembar wujudnya. Apa yang ada di tulisan ini mungkin hanya yang baik-baik karena tidaklah pantas hamba itu membuka aibnya yang sudah ditutupi oleh Rabb-nya.
Tetapi bisakah kita bayangkan, suatu catatan yang mencatat tidak hanya sepotong perjalanan kita, melainkan hidup kita seutuhnya, catatan yang memuat tidak hanya yang baik tetapi juga yang buruk. Lalu bagaimanakah catatan ini kelak bentuknya? Berapa banyak lembarannya?
Ah..tak kan lah sanggup manusia itu membayangkan apa yang memang hanya pada saatnya ia baru bisa mengetahuinya. Sedih rasanya, justru ketika telah mengetahui itulah, kebanyakan tidak pernah menyangka bakal sedemikanlah catatannya.
Saudaraku, kita tidak tahu berapa sisa lembaran cerita kita yang masih tersisa. Banyaknya yang sudah dijatahkan untuk kita bukanlah hak kita menetapkannya, melainkan Dia Yang Maha Kuasa, Maha Menetapkan, yang telah membuatnya tetap untuk kita, dan kita tidak tahu akan rahasia-Nya.
Mungkin masih berlembar-lembar, mungkin hanya tinggal satu halaman, mungkin setengahnya, atau mungkin hanya tinggal sebaris kalimat yang tersisa untuk menutup cerita kita.
Saudaraku, walaupun berlembar-lembar sudah dihabiskan untuk cerita-cerita yang buruk, bila lembaran yang tersisa itu kemudian ditulis dengan cerita yang baik, maka ia akan tetap menjadi akhir cerita yang baik. Bahkan bila hanya sebaris kalimat yang terisa untuk kita, menulisnya dengan „La ilaha ill-ALLAH“ rasanya sudah cukup untuk menjadikan cerita kita selesai dengan baik.
"Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat ALLAH dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan, dan janganlah mereka seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.“ (Q.S. Al Hadid 16)
Tahu apa manusia
Sebelum dan sesudah pun asing baginya
Sungguh sudah ada petunjuk jelas baginya
Pantaskah mencari keselamatan selain darinya?
Oh Jerman, datang ku kesini tak kurancang menjadi senang
Tetapi ketika aku hendak meninggalkanmu, aku malah takut senang yang tak kurancang menjadi hilang
Biarlah bila kelak pertemuan itu datang, tidaklah saat itu datang kecuali Dia Yang Merancang
Oh Jerman, Alpen yang berkaki banyak pun enggan mengangkat salah satu kakinya darimu
Ia hanya ingin semakin banyak Bumi ALLAH yang dipijaknya
Kalaulah ada yang boleh ku minta darimu
Aku hanya ingin engkau bersaksi, tanahmu dan keningku pernah bertemu dalam maksud pada-Nya
Akhukum, Kahfi
Diawali di Jerman, diteruskan di Indonesia, dan disudahi di Bumi ALLAH jua
29 Rabiul Tsani 1430 H