Welcome to Allah’s home, brother…
Omar Mosque; Wollongong
Hujan rintik-rintik dan hawa dingin menyelimuti setiap sisi dari kota Wollongong. Langkah demi langkah tak terasa membawaku kedepan pintu gedung perkuliahan. Kulihat banyak mahasiswa yang sedang menunggu antrean masuk ke dalam kelas, karena kelas masih dipakai oleh mata kuliah yang lain. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri saya.
“Brother, why did I haven’t seen you for a long time in fajr prayer?
What’s happened with you?
Pertanyaan itulah yang terlontar pertama kali dari seorang teman dan sekaligus saudara seiman di Wollongong ini. Muhammad Fauzi, itulah nama indahnya. Terkadang saya memanggilnya “brother”, karena itulah panggilan yang khas untuk sesama muslim di Wollongong dan juga dibeberapa wilayah diAustralia.
Kata brother dipilih dikarenakan karena sesama muslim kita adalah saudara. Fauzi adalah salah satu penghafal alquran sekaligus student di University of Wollongong., Ia biasa menjadi imam pada waktu sholat 5 waktu apabila Syekh Abdurrahman (Imam Masjid Omar) berhalangan.
Dengan pandangan yang penuh tanya dan sedih dia menatap mata saya dan berharap akan jawaban yang “indah” yang berasal dari hati kecil saya. Sejenak saya terdiam dan tidak mampu berfikir., karena saya bingung harus mencari alasan apa untuk menutupi “kemalasan” saya untuk pergi kemasjid.
Tiga hari sudah saya tidak pergi jamaah ke masjid karena waktu aktivitas sehari-hari yang berubah. Tugas kuliah yang menumpuk memaksa saya untuk tetap terjaga hingga larut malam, bahkan terkadang hingga pagi hari. Oleh karena itu aktivitas ke masjidpun menjadi “secondary needs” dalam hidup.
Astaghfirullah, Ya Alloh, maafkan hamba, doa saya dalam hati, hamba mengejar “dunia” sampai hamba melupakan akherat hamba. Hamba sadar, inilah peringatan dariMu yang Engkau sampaikan lewat saudaraku. “Yaa Alloh, Indah sekali kalimatMu hari ini, Aku sadar bahwa kalimat itu bukanlah kalimat yang kebetulan tersampaikan kepada diriku, maafkan hamba Yaa Alloh, maafkan atas kekhilafan hambaMu ini”.
Hati kecil ini terus berucap Istighfar kepada Alloh, ingin rasanya jiwa ini menangis dikarenakan telah menyia-nyiakan waktu yang tak pernah akan kembali. Pertanyaan Fauzi itu terus terngiang di fikiran saya hingga saya kembali ke tempat kontrakan. Saya sedih, kenapa iman saya begitu tipis, hingga selalu butuh diingatkan oleh orang lain.
Saya sedih karena telah tiga hari tidak berkunjung ke rumah Alloh, meskipun saya sadar bahwa rumah itulah tempat terindah untuk wisata hati dan tempat bertemu dengan saudara-saudara saya yang seiman.
Bersepeda ke masjid sambil berdzikir adalah perjalanan yang paling indah
Senja tiba, dan dinginpun mulai merasuk disetiap pori-pori tubuh. Sayapun mulai mempersiapkan diri untuk sholat maghrib. Hari ini saya bertekad untuk berangkat ke masjid Omar dengan menaiki sepeda. Sesampai di masjid, saya memarkir sepeda dan memasuki masjid dengan langkah bersemangat.
Tak disangka sangka, Fauzi tersenyum melihat saya, sembari tersenyum dia berkata, brother, I am very glad to meet you again here. Kejadian itu adalah kejadian yang tidak biasa saya alami, kejadian itu pula yang merubah pandangan saya untuk mencintai “daerah” tempat tinggal saya sebelumnya melebihi cinta kepada Islam.
Saya sadar ternyata kebangsaan tidak selamanya abadi, dan hanya Islamlah “ikatan” yang abadi tersebut. Terkadang saya merasa sedih ketika mendengar berita tentang saudara sesama muslim yang sedang diuji Alloh SWT dalam peperangan dan perang saudara. Terkadang saya bertanya dalam hati, mengapa umat Islam menjadi terlemahkan disemua daerah?
Ternyata jawabannya adalah karena umat Islam belum bisa menganggap saudara seiman sebagai “saudara” yang sebenarnya. Umat Islam lebih menyukai hidup nyaman dibawah naungan sistem kufur yang melenakan, hingga mereka terlupa bahwa masih ada saudara-saudara sesama muslim yang butuh dibantu.
Dalam hal ini Rosululloh SAW pernah bersabda, “Tidaklah dua orang saling mencintai karena Allah, melainkan orang yang paling dicintai Allah, diantara keduanya ialah orang yang paling besar cintanya kepada saudaranya." (HR. Ibnu Hibbandan Al Hakim).
Subhanalloh, itulah indahnya persaudaraan dalam Islam, persaudaraan yang diikat dengan hati dan dihiasi dengan indahnya iman, keikhlasan, dan kesabaran.
Redi Bintarto
University of Wollongong
NSW, Australia