Hingga akhirnya Allah hadirkan pertolongan. Benteng Konstanstinopel yang selama berabad-abad berdiri dengan pongahnya, hari itu, 29 Mei 1453 berhasil dijebol pasukan Al Fatih.
Gemuruh suara takbir merobek keheningan malam. Membuat siapa saja yang mendengar tergetar hatinya.
“Sesungguhnya kalian melihatku sangat gembira. Kegembiraanku bukan karena penaklukan benteng ini semata. Akan tetapi, kegembiraanku muncul karena adanya seorang Syekh yang mulia pada zamanku. Dia adalah guruku, Syekh Aaq Syamsuddin.”
Nama itu selalu disebutnya dengan ta’zim. Segala nasihatnya didengar dan dilaksanakan. Sekalipun dunia mencatatnya sebagai pemimpin terbaik dari pasukan terbaik, namun ia sadar, tanpa gurunya ia bukan siapa-siapa.
Syekh Aaq bukan sekadar guru yang mengajarinya bermacam ilmu. Namun juga penasihat utama, Sang Pembisik yang selalu dimintai pendapat saat menghadapi persoalan pelik.
Suatu ketika setelah kemenangan itu ia hendak menemui Syekh Aaq untuk menyampaikan hal penting, namun gurunya itu tak mau ditemui.
“Syekh tak mau menemuiku,” keluhnya pada panglimanya. “Barangkali Syekh melihat ada ke sombongan dalam diri Sultan, karena pembebasan Konstantinopel tidak bisa dilakukan oleh para sultan sebelumnya. Beliau ingin melawan sebagian kesombongan itu dari dirimu.”
Begitulah seharusnya menjadi seorang pemimpin. Dikelillingi oleh orang-orang alim yang akan selalu mengingatkannya saat salah melangkah.
Memilih pembisik yang hanya membisikinya dengan nasihat berdasar ayat-ayat Allah. Bukan menjerumuskan untuk kepentingan sesaat dan keserakahan yang sesat.
Betapa banyak telah kita saksikan, para pemimpin yang menjadi dzalim karena penasihatnya yang lalim. Semoga kita bisa belajar di hari kelahiran Al Fatih. (ROL)