Awal saya datang ke Jerman, tidak ada terpikir oleh saya bahwa saya akan cinta tinggal di negeri ini. Tujuan saya kemari hanya belajar. Jadi, saya harus mempersiapkan diri bahwa sekalipun kelak saya tidak betah dengan suasana Jerman
Kisah
Muslim Indonesia di Jerman (4)
Ia hanya tidur tanpa selimut tetapi hanya dengan sleeping bag yang tidak terlalu tebal dan bagi saya kurang memadai untuk melindungi dirinya dari udara musim dingin. Sebenarnya isi hati ingin menolak perlakuannya pada saya tetapi kemudian saya tahu bahwa memang itulah yang diinginkannya.
Muslim Indonesia di Jerman (3)
Sepulang dari pengalaman yang amat mengesankan saya itu, kami menginap di kamar salah satu saudara kami. Waktu itu masih suasana 1 Muharram. Kami pun makan bersama. Saudara-saudara saya yang pandai memasak mempersiapkan masakan. Bahan-bahannya kami beli bersama di supermarket terdekat.
Muslim Indonesia di Jerman (2)
Saudara saya ini juga tidak sungkan memperlihatkan kemesraannya terhadap istrinya. Mungkin ia tidak merasa bila sikapnya terhadap istrinya itu adalah sikap mesra. Ya, orang yang sudah biasa dengan sesuatu kadang tidak menyadari bila ia telah melakukan sesuatu. Saudara saya ini di Indonesia adalah peneliti.
Muslim Indonesia di Jerman (1)
Lalu masihkah kita menganggap remeh kemuliaan persaudaraan yang diajarkan dalam Islam? Dan saya bersyukur, di Jerman ini saya berkesempatan belajar kemuliaan akhlak persaudaraan yang diajarkan dalam Al Quran dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, dipraktekkan oleh saudara-saudara saya.
Alte Frau (3)
Saya jadi teringat ketika suatu hari pernah menonton rekaman video di internet mengenai sebuah keluarga muslim yang menyediakan rumah mereka untuk ditempati oleh seorang tamu non muslim selama beberapa waktu, dalam hitungan pekan dan bulan. Tentu saja menarik. Bagaimana melihat raut wajah tamu itu ketika melihat keluarga tuan rumah melakukan shalat berjamaah. Terlebih ketika shalat subuh, tamu itu juga dibangunkan agar melihat apa yang dilakukan sebuah keluarga muslim di tarikan nafas awal sebuah hari itu.
Alte Frau (2)
Suatu saat saya pernah bertanya pada Frau Weiergraber, apakah dia percaya hidup sesudah mati. Ia pun menjawab tidak. Lalu saya tanyakan alasannya, maka jawaban Frau Weiergraber agak lucu, yaitu ia bilang bahwa tidak pernah ada bukti bahwa ada kehidupan sesudah mati. Ia mengatakan bahwa bagaimana kita bisa tahu ada hidup sesudah mati jika orang yang telah mati saja tidak pernah hidup lagi memberitahu mereka yang masih hidup mengenai keadaan sesudah kematiannya.
Alte Frau (1)
Dalam hal jabat tangan, saya merasa yang paling aman adalah tidak perlu menyentuh mereka yang memang bukan hak kita menyentuhnya, bahkan dalam hal yang mungkin bisa dimaklumi sekalipun, rasanya yang aman adalah tetap tidak menyentuh mereka. Tetapi pada saat itu memang baru seperti itu kemampuan saya beramal. Walau demikian, saya selalu berusaha agar ketika kami berinteraksi, saya membawa suasana agar kami tidak perlu bersalaman, walaupun dalam perkenalan.
How Can They Come to Germany? (4)
Cito adalah namanya dan Madagaskar adalah asalnya. Uday sempat bercanda dengan menyebut namanya sebagai cheetah. Ia adalah mahasiswa PhD di Forschungszentrum Juelich dalam bidang nuklir. Dari pembicaraan dengannya, saya merasa ia lebih mengerjakan fisika nuklir layaknya Vishwajid, teman kami dari India, yang kemudian juga datang ke ZOB itu, ketimbang kimia nuklir seperti yang ditekuni Prof. Qaim.
How Can They Come to Germany? (3)
Pertama kali saya menyebutkan asal saya selagi kami di ZOB, ia langsung memperagakan sebuah gerakan. Awalnya sulit bagi saya memahami maksudnya. Penjelasannya dalam bahasa Inggris juga kurang jelas bagi saya. Barulah kemudian saya menyadari bahwa yang ia maksud adalah olahraga bulutangkis. Ketika saya menyebutkan badminton, ia sendiri tidak tahu. Mungkin ada sebutan tersendiri untuk olahraga ini dalam Bahasa Mandarin.
- Sebelumnya
- 1
- …
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- …
- 16
- Berikutnya