Waktu itu saya tidur di kamar saudara saya lainnya. Ketika saya mendatangi kamar saya yang hendak saya pakai untuk tidur, sudah saya dapati sebuah kasur dengan selimut tebal, jelas itu ia peruntukkan bagi saya. Saudara saya itu sendiri sudah tidur karena ia pulang agak malam, dan saya waktu itu masih mengobrol dengan saudara saya di kamar lainnya.
Ia hanya tidur tanpa selimut tetapi hanya dengan sleeping bag yang tidak terlalu tebal dan bagi saya kurang memadai untuk melindungi dirinya dari udara musim dingin. Sebenarnya isi hati ingin menolak perlakuannya pada saya tetapi kemudian saya tahu bahwa memang itulah yang diinginkannya. Ia hanya ingin apa yang ia inginkan baik bagi dirinya, ia dahulukan saudaranya untuk mendapatkannya.
Suatu saat saya ada acara di suatu kota. Kota tersebut masih satu negara bagian dengan tempat tinggal saya. Saya pun bertemu dengan saudara-saudara saya lainnya di kereta. Mereka masih dari kota-kota dalam negara bagian tersebut.
Jadwal acara tersebut mengharuskan kami untuk berangkat pagi-pagi. Sesampainya di tempat acara, saya dapati tempat tersebut sudah dipersiapkan dengan baik. Meja penyambut tamu lengkap dengan kelengkapan yang dibutuhkan tamu, kursi-kursi untuk para peserta sudah tersusun rapi. Meja untuk makanan dan makan siang juga sudah siap dengan segala pelengkap di atasnya, kue, minuman, dan hidangan.
Yang langsung menarik perhatian saya adalah saya melihat saudara saya yang saya tahu pasti dia berasal dari kota yang tidak satu negara bagian dengan kami. Rasanya dia lah yang paling jauh dari tempat acara ini.
Tetapi bila dia sudah datang lebih awal dari kami, saya tidak tahu jam berapa dia berangkat dari kotanya, apa mungkin mempergunakan kereta cepat tetapi kan ongkosnya mahal, atau mungkin malah menginap dulu di hari sebelumnya, yang jelas ia datang lebih awal dari kami yang sebenarnya tidak jauh dari kota tempat acara tersebut diadakan.
Ketika selesai acara, kami sibuk mengajak yang lain dan mendiskusikan hendak mengejar kereta jam berapa, maka yang dilakukan saudara saya ini adalah mempersiapkan bungkusan makanan dari hidangan dan kue yang masih banyak tersisa untuk kami bawa dalam perjalanan hingga bisa dimakan di jalan atau sesampai kami di rumah.
Dia tidak sibuk dengan jam pulangnya, saya tidak tahu alasannya. Padahal ia datang bersama istri dan dua anaknya. Terlihat betapa ia betul-betul menyiapkan bungkusan makanan untuk kami bawa, dan memberikan satu persatu pada kami yang hendak berpamitan. Saya pun menerimanya. Begitu jelas bagi saya terpancar cahaya cinta seorang mukmin kepada saudaranya dari wajah saudara saya ini. Waktu itu di dalam hati saya berujar rasanya inilah mukmin sejati itu.
Sungguh, hati saya terharu melihat perlakuannya yang sebenarnya tidak perlu ia lakukan. Ketika dalam kesempatan lain, saya juga pernah terkesan dengan saudara saya ini. Waktu itu juga ada acara yang dihadiri banyak muslim Indonesia di Jerman. Kami pun menginap di masjid. Selepas shalat subuh berjamaah dan senam pagi, maka kami pun menyebar dalam kelompok-kelompok diskusi. Saya dan saudara saya ini dalam satu kelompok.
Masih jelas dalam ingatan saya betapa dengan gamblangnya ia menyampaikan betapa pentingnya persatuan umat. Ya, persatuan umat adalah di atas segala-galanya. Ah, Akhi, ada satu hal yang diriku malu mengatakannya di hadapanmu, "Aku mencintaimu karena ALLAH."